Senin, 17 Juni 2024

Mengenal Perkawinan Komunitas Budaya Lio-Ende

 

Matheus Antonius Krivo


Jenis dan Prosedur Perkawinan Suku Lio 

1)  DHUKU TU LENGGE LIMA, ialah perkawinan antara anak laki-laki saudari dan anak gadis dari saudara. Lazim disebut Nika “Ana Eda“. Sering juga disebut Paa Tua atau Fai One (isteri rumah). Makna Paa Tu’a adalah pasangan yang nikah karena sejak kecil dijodohkan meskipun tanpa hubungan darah

2)  TANA LI ALE KELA, ialah perkawinan antara dua pasangan berdasarkan pilihan bebas suka sama suka dan resmi dipinang dari keluarga lain sama sekali

3)  ANA WAWO PARE, ialah perkawinan antara anak laki-laki saudari dengan anak gadis saudara, dengan tujuan untuk melanjutkan keturunan pihak saudara, mengingat saudara tidak mempunyai anak laki-laki sebagai ahli waris

4)  MERA NOO TEBO atau NIKA KOO WEKI yaitu si pria masuk menjadi keluarga perempuan (kawin masuk) karena tidak sanggung menghantar belis.

5)   PARU HAKI atau PARU DHEKO atau PARU NAI, ialah  perempuan lari ikut pria baik dihantar maupun secara diam-diam

6)   LAWO NDOKO, ialah pernikahan demi menyelamatkan si perempuan karena telah hamil tanpa pria yang mau bertanggung jawab. Guna menutup malu seorang pria menerima sang perempuan yang telah hamil dan mempersuntingnya menjadi isteri. Biasanya tak ada lagi pembicaraan tentang belis.

Sejak tahun 1909  ketika Gereja Katolik mulai ada di wilayah Lio dan mayoritas orang Lio menjadi Katholik, cara melangsungkan pernikahan secara perlahan mengikuti Hukum Kanon Gereja Katolik. Pernikahan karena DHUKU TU LENGGE LIMA atau PAA TUA atau ANA WAWO PARE  ditinggalkan karena bertentangan dengan Kanon Gereja Katolik. Meskipun  pada sejumlah keluarga hingga akhir abad 20 masih memberlakukannya. Tetapi memasuki abad 21 hampir seluruhnya tidak berlaku lagi. Sedangkan MERA NOO TEBO atau NIKA KOO WEKI dan LAWO NDOKO   Gereja Katolik tetap mengurusnya.

Pernikahan orang Lio sejak Gereja Katholik ada  mendasarkan pada 2 tahapan yakni secara adat dan secara gereja.Prosedure adat lebih berkaitan dengan tahapan kepastian kedua belah pihak untuk meminta restu pernikahan. Sedangkan procedure Gereja Katolik berkaitan dengan pengesahan pernikahan. Tulisan ini secara khusus menyoroti procedure pernikahan adat  TANA LI ALE KELA atau lazim disebut TANA ALE dan PARU HAKI.


TANA LI ALE KELA

Perkwinan TANA LI ALE KELA dengan sistem pinangan umum berlaku di komunitas Lio. Sekaligus menjadi pernyataan kewibaan keluarga dan komunitas. Perkawinan ini masih berlaku hingga masa kini.

Prosedure adat menempuh sejumlah tahapan. Tahapan dimulai ketika keluarga pria telah memutuskan untuk bertatap muka dengan keluarga perempuan guna membahas prosedure adat. Tahapan-tahapannya:

1. TANA LI ALE KELA. Pihak pria (yang bersangkutan dan atau perwakilan) mendatangi orang tua/keluarga perempuan menanyakan kesediaan si gadis untuk hidup bersama (menikah) dengan sang pria yang datang. Tahap ini membutuhkan kepastian jawaban entah setuju atau tidak. Kalau setuju maka melangkah ke tahap selanjutnya.

2.   NAŪ NELU. Utusan keluarga pria mendatangi orang tua perempuan menyampaikan bahwa keluarga perempuan akan melamar resmi yang disebut ‘teo lambu’ atau ‘teo tanda’ atau ‘ruti nata’. Pada tahap ini hasilnya adalah kesepakatan waktu untuk melangsungkan acara dimaksud.

3.   TEO TANDA (beri tanda) atau ‘ruti nata’ (beri siri pinang) atau ru’u tu’u jaga rara (awasi yang sudah matang). Kemudian dikenal pula dengan ‘teo lambu’ (gantung baju). Sering dimaknai sebagai tu lo’o (hantaran kecil). Pada tahap ini keluarga pria mendatangi orang tua si gadis membawa  materi sebagai tanda untuk mengikat perempuan. Materi yang dibawa disebut liwu eko. Liwu dalam tradisi tua adalah emas, namun sekarang sudah diganti dengan uang. Nilai emas dalam tradisi Lio beragam sesuai kesanggupan pria dan keluarganya. Sedangkan eko adalah ternak peliharaan seperti kerbau, kuda, sapi dan babi. Jumlah yang dibawa tergantung kesanggupan sang pria dan keluarganya. Pembicaraan dan acara  melewati 5  tahap. Pertama: pihak keluarga si gadis menanyakan maksud kehadiran keluarga pria. Sebelum memulai pembicaraan, jubir keluarga si gadis terlebih dahulu meletakan selembar ragi mite (kain pria) di depan jubir keluarga pria. Maksud dari peletakan ragi mite adalah mengalasi seluruh pembicaraan kedua belah pihak. Kedua, pihak keluarga pria yang diwakili oleh jubir menjawab pertanyaan dengan menyampaikan maksud kedatangan mereka. Inti dari pembicaraan adalah melamar atau menggantung baju atau memberi tanda kepada si gadis dan keluarganya agar tidak lagi  menerima pria lain. Pembicaraan pada tahap ini sekaligus menunjukkan materi-materi yang dibawa yaitu liwu dan  eko. Ketiga, pihak keluarga si gadis menyatakan persetujuan. Persetujuan dari pihak si gadis dan keluarganya dinyatakan dengan menyerahkan satu paket pakaian adat pria kepada sang pria yang melamar itu. Penyerahan dilakukan oleh si gadis yang dilamarnya itu. Ketika si gadis meletakan tanda mata di hadapan sang pria, sang pria wajib meletakan sejumlah uang di bawah paket pakaian. Jika sudah diletakan maka paket itu akan diambil oleh si gadis untuk disimpan sementara di ruang persiapan. Uang yang diletakan oleh si pria adalah tanda balasan dan penghargaan kepada sang gadis. Keempat, wejangan/nasehat kepada sang pria dan si gadis yang telah bersepakat untuk menjalani hubungan. Intinya adalah kedua belah pihak meminta kepada masing-masing untuk saling menjaga hubungan yang sudah dijalin. Tidak menerima gadis lain maupun pria lain. Selain itu memberi tahu kepada si pria dan si gadis untuk boleh datang bertamu atau  menginap di rumah keduanya. Namun ada batas yaitu belum bisa tidur bersama. Kelima, pihak keluarga si gadis menyampaikan nilai belis  kepada keluarga pria. Pada tahap ini keluarga pria bersifat pasif yaitu hanya mendengarkan apa yang diminta oleh pihak keluarga si gadis. Usai tahapan ini, keluarga pria langsung berpamitan untuk kembali ke tempat mereka. Proses lanjutan yang dilakukan oleh keluarga si gadis adalah menghantar ‘genu wena’ (makanan yang dihidangkan pada acara lamaran dan paket pakaian adat pria yang telah disampaikan pada acara lamaran) kepada keluarga pria. Mereka menghantar sampai di rumah tinggal pria. Di sana pihak yang menghantar akan dijamu, lalu ketika akan kembali pihak keluarga pria menyerahkan ‘je tora are’ (bersihkan sisa makanan) berupa sejumlah uang sebagai tanda terima kasih. Lazim  disebut ‘pusi benga’. Makna pusi benga adalah mengisi kembali bakul yang telah kosong dari keluarga si gadis sehingga ketika mereka kembali masih ada isinya. Makna simbolis adalah kedua belah pihak saling memberi hormat dan penghargaan.

4.  BOU MONDO atau bou tebo (kumpul keluarga) adalah acara yang digelar oleh keluarga laki-laki untuk mengumpulkan keluarga besar guna memobilisasi sumber daya berupa ternak, emas atau uang guna dihantar kepada keluarga perempuan dalam acara tu ria. Biasanya terlaksana menjelang waktu pelaksanaan tu ria. Hasil yang didapatkan pada bou mondo akan dihantar seluruhnya kepada keluarga perempuan dalam acara hantar belis (tu ngawu). Pada waktu bou mondo, si gadis calon pengantin juga ada bersama keluarga laki-laki. Kehadirannya untuk berkenalan dengan keluarga besar laki-laki. Ketika datang dari rumahnya ke keluarga pria, si gadis akan ditemani oleh seseorang dari keluarganya. Mereka membawa beras dan kue filu/ndene sebagai ole-ole

5.  TU RIA (hantaran besar) adalah acara penghantaran belis oleh keluarga pria kepada keluarga si gadis yang telah diikat sebelumnya. Sebelum dilangsungkan acara hantaran belis biasanya keluarga pria melakukan naū nelu (menetapkan waktu) dengan keluarga si gadis. Di tahap ini keluarga pria membawa liwu eko sesuai permintaan dari keluarga perempuan. Biasanya ada sejumlah pihak dari kalangan si gadis yang akan menerima pemberian (belis) dari keluarga pria. Mereka itu adalah ine – ame (kedua orang tua perempuan), eda embu (om kandung), nara ame (saudara kandung), dan majo –majo. Majo adalah pihak-pihak terkait di luar ketiga pihak di atas yang dianggap layak oleh keluarga si gadis untuk juga menerima belis karena jasa-jasa mereka kepada si gadis dan orang tuanya. Bagi  om kandung  ada dua bagian yang patut dihargai yaitu sebagai eda embu (pemegang gagang) dan sebagai pido puū rete hamu (sebagai akar atau sumber).  Sedangkan saudara kandung dipandang sebagai pengayom dan pendekar dengan sebutan mendi sau (senjata - kelewang) dan saka jara (menunggang kuda).  Ukuran nilai dari sejumlah pihak yang patut menerima pun berbeda. Prinsipnya orang tua kandung terbesar. Lalu om kandung, kemudian saudara kandung lalu para majo.

Ketika waktu ‘tu ria’ disepakati maka berlangsunglah acara tersebut dengan sejumlah prosesi:

1)   Tama mai; rombongan keluarga laki-laki datang ke keluarga si gadis dengan membawa sejumlah materi sesuai peruntukan masing-masing. Ketika hendak memasuki kintal rumah, pihak keluarga perempuan akan menyapa dengan kata-kata, “tolo nata pati bako…” (siapkan siri pinang dan rokok untuk mereka yang datang). Sapaan ini dengan nada suara yang besar seakan-akan memberi tahu segenap keluarga perempuan bahwa tamu yang ditunggu sudah ada dan keluarga perempuan siap untuk menyambutnya

2)      Rombongan akan menempati tempat yang telah tersedia. Biasanya duduk di tanah beralaskan tikar. Karena itu yang datang juga selalu mengenakan kain sarung pria maupun perempuan. Selanjutnya rombongan dijamu awal dengan hidangan siri pinang dan rokok serta minuman berupa kopi, teh dan filu/ndene (kue cucur adat)

3)    Ka geju mai (makan pembuka). Rombongan keluarga lelaki dijamu oleh keluarga si gadis dengan sajian makan pembuka. Maksud dari makan pembuka adalah menguatkan kelelahan rombongan setelah menempuh perjalanan yang jauh dan memikul beban material seperti tarik ternak besar (kerbau, sapi atau kuda) dan pikul ternak sedang seperti babi

4)  Ka ria (makan besar/ resmi adat). Rombongan keluarga lelaki dijamu santap bersama dengan hidangan secara adat. Seluruh hidangan yang telah disiapkan oleh keluarga si gadis disajikan kepada rombongan keluarga laki-laki baik makanan maupun minuman arak/beralkhol

5)    Ru’e hibi, pesa wawi ndota (makan emping beras dan daging babi cincang) adalah jamuan ringan yang dihidangkan untuk menyertai kedua keluarga ketika berdialog tentang hantara adat/belis

6)    Dialog adat berkaitan dengan hantara belis. Ada dua pihak yang berperan yakni jubir kedua keluarga dan om kandung dari si gadis yang hendak menerima belis. Pembicaraan diawali oleh keluarga laki-laki yang menyampaikan jenis dan nilai hantaran mereka dan peruntukannya masing-masing (orang tua, saudara kandung dan para majo) selain untuk eda embu-puu hamu (Om Kandung). Selanjutnya keluarga perempuan akan merespon sesuai materi pembicaraan. Kalau belum setuju dengan jenis dan nilai yang dihantar, maka akan berlanjut dengan dialog tawar menawar. Kalau sudah disetujui maka keluarga si gadis akan menghidangkan kain tenun berupa ragi (untuk laki-laki) dan lawo (untuk perempuan) sesuai jumlah yang telah disampaikan oleh keluarga laki-laki. Jumlah ragi dan lawo yang disiapkan oleh keluarga perempuan berdasarkan permintaan dari keluarga laki-laki karena akan diperuntukan bagi pihak-pihak yang terlibat mendukung materi yang dihantar kepada keluarga si gadis. Pada kain-kain ternun yang dihidangkan kepada masing-masing pihak, masing-masingnya merespon dengan meletakan uang di dalam lipatan kain tenun. Kalau semua sudah diletakan uang, keluarga si gadis akan mengangkat kembali hidangan kain tenun untuk disimpan dalam ruang persiapan. Jubir keluarga si gadis akan memastikan bagian acara untuk penghargaan kepada orang tua dan para majo selesai. Selanjutnya pihak eda embu-puu hamu (om kandung) akan berbicara langsung kepada keluarga pria tentang materi yang perlu diterima olehnya sebagai eda embu-puu hamu (om kandung). Sebelum memulai pembicaraan pihak Om kandung  meletakan satu lembar kain tenun sebagai alas pembicaraan. Om kandung menyampaikan tuntutannya. Kalau keluarga pria belum bisa memenuhi sesuai permintaan akan berlanjut dengan dialog/komunikasi tawar menawar hingga disetujui. Kalau langsung memenuhi, maka pihak om kandung akan menyambutnya dengan menghidangkan sejumlah lembaran kain tenun kepada keluarga pria. Keluarga pria yang menerima menyambutnya dengan meletakan uang dalam lipatan kain tenun. Jika sudah meletakan uang maka hidangan kain tenun akan diambil keluarga perempuan untuk disimpan sementara di ruang persiapan

7) Gare nikah (pembicaraan tentang pernikahan). Bagian ini jubir dari keluarga pria menyampaikan kepada keluarga si gadis tentang rencana pernikahan. Alasan karena belis sudah dihantar, maka perlu segera melangsungkan pernikahan. Pihak keluarga si gadis akan meresponnya sesuai konsep mereka. Umumnya pembicaraan detil tentang rencana pernikahan akan dibahas khusus antara jubir dan utusan keluarga dari kedua belah pihak pada hari khusus. Meski demikian keluarga si gadis akan menyampaikan sejumlah tuntutan terkait dengan urusan  menuju hari pernikahan. Urusan-urusan itu antara lain:

§  Urusan Kursus Persiapan Pernikahan

§  Urusan kanonik dan panggil nama

§  Urusan bangun tenda acara

§  Urusan tanggungan dari pihak keluarga pria: sejumlah ternak sesuai kepentingan seperti eko pai naja (ternak untuk panggil nama), eko kema fao (ternak untuk kerja tenda), eko banga fara (ternak untuk makan bagi mereka yang bekerja pada acara puncak pernikahan), eko ndota poo (ternak yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan  untuk makan bersama. Biasanya ternak yang dimaksudkan adalah babi sehingga disebut wawi ndota poo. (Daging babi dicincang lalu dimasak dalam bamboo), serta eko nikah dengan liwunya (duitnya) adalah tanggungan ternak dan uang belanja pada acara pernikahan.

§  Urusan tanggungan keluarga si gadis yang dituntut oleh pihak laki-laki seperti guru nikah (cincin nikah), pakaian nikah beserta perlengkapannya serta joka tu (menghantar perempuan ke rumah laki-laki setelah menikah)

8)  Ka wele walo (makan penutup ketika hendak pulang. Keluarga si gadis menjamu kembali keluarga laki-laki santap bersama. Santap penutup sebagai bekal tenaga untuk rombongan yang hendak kembali ke rumah atau kampung halaman mereka.

9) Tu genu wena  adalah menghantar makanan yang dihidangkan pada acara tu ria dan seluruh kain tenun yang telah disampaikan pada acara hantaran besar sebagai symbol persetujuan dari keluarga si gadis kepada keluarga pria.  Yang memimpin acara hantaran ini adalah si gadis itu sendiri. Mereka menghantar sampai di rumah tinggal laki-laki. Di sana pihak yang menghantar akan dijamu, lalu ketika akan kembali pihak keluarga pria kembali menyerahkan ‘je tora are’ berupa sejumlah uang sebagai tanda terima kasih yang disebut ‘pusi benga’. Selain itu pihak keluarga pria juga menyerahkan ‘tege loge’ berupa eko (ternak) sebagai penghargaan kepada orang tua dan keluarga si gadis yang telah menghantar tanda penghargaan. Biasanya jumlah uang untuk pusi benga buat bagian orang tua atau om kandung berbeda nilainya dengan saudari-saudara yang lain.  Saat kembali calon pengantin perempuan tetap tinggal di rumah keluarga calon suami. Alasannya adalah untuk menghantar kain tenun kepada masing-masing keluarga yang telah terdaftar karena mendukung materi baik ternak maupun emas atau uang yang dihantar untuk keluarga perempuan. Saat si gadis menghantar kain tenun kepada masing-masing keluarga pria, si penerima akan menghadiahkan lagi si gadis itu dengan uang

6.   NIKA KAWI. Laki-laki dan perempuan yang sudah menyelesaikan tahapan adat, mendapatkan pengesahan dari agama (Katolik). Tahapan-tahapan menuju pernikahan antara lain:

§  Mengikuti Kursus Persiapan Pernikahan (bagian Gereja Katholik)

§  Penyelidikan Kanonik (bagian Gereja Katolik)

§  Pemanggilan nama di Gereja paroki selama 3 minggu berturut-turut (bagian Gereja Katolik)

§  Pembinaan terakhir sebelum pernikahan (bagian Gereja Katolik)

§  Pernikahan (bagian Gereja Katolik) dan resepsi oleh keluarga perempuan

o   Malam menjelang pernikahan, pihak keluarga perempuan melakukan sebuah acara yaitu ‘pati ka ata du’a one nua’ (menjamu makan bagi orang tua/sesepuh kampung). Acara ini bermakna memohon ijin kepada sesepuh kampung sekaligus meminta dukungan mereka untuk pelaksanaan acara pernikahan dan resepsi besoknya

o   Ketika akan melangsungkan pernikahan kedua calon pengantin akan datang dari keluarga masing-masing bersama orang tua dan sanak saudara. Mereka berjalan dari arah masing-masing dan baru bertemu di depan pintu gerbang gereja. Saat itu pula baru pertama kali orang tua pria bertemu langsung dengan orang tua si gadis. Selanjutnya mengikuti rangkaian pemberkatan nikah di gereja

o   Usai pemberkatan, orang tua dan keluarga pria diundang oleh keluarga si gadis untuk pergi ke rumah keluarga si gadis; tempat dilangsungkan resepsi

o   Di saat resepsi pihak keluarga pengantin perempuan akan melangsungkan acara ‘toli towa’ yakni segenap keluarga perempuan dengan kain tenun masing-masing menghantar kehadapan pengantin sambil berjabatan tangan. Makna toli towa adalah keluarga perempuan resmi melepaskan anak mereka untuk bergabung dengan keluarga laki-laki karena telah resmi menikah

o   Ketika usai resepsi, akan dilangsungkan acara masuk kamar pengantin. Pengantin pria dan pengantin perempuan masuk bersama ke dalam kamar pengantin. Di saat akan masuk ke kamar pengantin, si pria harus memberikan penghargaan kepada 4 perempuan dari keluarga pengantin puteri berupa sejumlah uang. Penghargaan itu dikenal dengan “pido kulambu’ (penjaga kulambu)

o   Pengantin selama 4 hari 4 malam tidak keluar rumah. Mereka berdua berada dalam rumah. Kondisi ini memiliki pesan mistik yakni mereka harus memulai membuat ‘sarang’, memilin benang; mengalami kebersamaan sebagai suami dan isteri dalam rumah tangga.

7.    JOKA TU adalah acara menghantar pengantin perempuan kepada rumah keluarga pengantin laki-laki secara resmi setelah malam keempat. Pada acara ini keluarga perempuan akan membawa hantaran berupa mbeka wati (siri pinang dalam tempatnya yang  khusus),  padi atau beras dalam jumlah yang memadai, kain tenun pria dan wanita, kado-kado waktu resepsi pernikahan selain uang, seluruh perlengkapan kamar pengantin, perlengkapan rumah tangga lainnya dan sarana ketrampilan pengantin perempuan seperti alat tenun bagi yang menenun atau mesin jahit bagi yang menjahit. Ada juga  sebidang tanah dari orang tua sebagai modal mengais hasil pertanian atau lainnya guna mendukung ekonomi rumah tangga. Barisan paling depan adalah pengantin puteri sambil membawa ‘mbeka wati dan mota heu’ (siri pinang yang tersimpan dalam tempatnya)  Keluarga laki-laki akan menyambut dan menjamu kehadiran seluruh keluarga perempuan yang datang menghantar

Rangkaian  prosesi perkawinan TANA LI ALE KELA dengan sistem pinangan ini dalam perkembangan zaman mengalami pemotongan tahapan untuk mempersingkat proses. Adapun alasan yang selalu dipertimbangkan:

  • Keadaan ekonomi yang tidak memadai untuk memobilisasi material selama proses perkawinan
  • Mempersingkat waktu dan menghemat biaya. Pada moment TU RIA makan tidak lagi 3 kali melainkan hanya 2 kali bahkan sekali saja.
  • Materi untuk belis seperti ternak besar: kerbau, sapi bahkan kuda susah didapatkan lagi. Begitu pula emas warisan masa lalu sudah langka. Olehnya nilai emas (liwu) umumnya sudah diganti dengan uang semata
  • Dukungan family atau keluarga terbatas. Banyak keluarga dekat yang sudah memilih berpindah ke daerah dan pulau lain sehingga menyulitkan mobilisasi sumber daya

PARU HAKI/PARU DHEKO

Cara ‘paru haki’ (lari ikut). Lari ikut ada dua versi yakni pertama, dihantar oleh keluarga si gadis kepada keluarga pria atau diam-diam ikut pria ke rumah keluarganya. Kedua, ‘ruti leda’ (minta tinggal terus/menahan si gadis di rumah si pria). Versi pertama lebih karena alasan: takut kehilangan calon suami atau selama berpacaran melakukan aksi kemesraan atau sampai hubungan badan sehingga hamil. Versi kedua lebih karena si pria kesulitan mendapatkan perempuan atau tidak pandai berpacaran. Olehnya ada perempuan yang datang ke rumah mungkin masih ada pertalian keluarga langsung ditahan. Tahapan PARU HAKI sebagai berikut:

1.       Selama 4 malam, si gadis yang telah berada di rumah keluarga si pria tidak boleh keluar rumah. Bagi komunitas Mbuli (bagian Selatan Lio Tengah) selama 4 hari 4 malam si gadis hanya ada di dalam rumah. Sedangkan si pria pada moment 4 hari itu adalah memberi tahu segenap saudarinya bahwa calon isterinya sudah ada di rumah. Di saat si pria akan kembali, para saudarinya akan menghadiahkan seekor ayam kepada saudara mereka sebagai lauk bagi si calon iparnya. Selama 4 hari 4 malam si gadis hanya makan lauk daging ayam. Ketika setiap kali makan si gadis hanya akan ditemani oleh salah satu saudari dari si pria. Si gadis seola-ola diisolasi selama 4 malam.

2.     Pada hari keempat, saudara kandung dari si gadis itu melakukan acara ‘mbana gae’ (pergi cari). Saudara si gadis  datang mencari saudarinya ke rumah si pria. Saudara yang datang membawa serta regu pata (beras dan kain tenun) serta pakaian ganti bagi saudarinya. Ketika saudara si gadis akan pulang, si pria menghadiahkan kepada saudara si gadis sebilah ‘sau’ (kelewang) atau ‘topo’ (parang) dan sejumlah uang sebagai symbol ‘tata jala’ (bersihkan jalan).

3.     Pada hari keempat pula ketika saudara kandung si gadis sudah kembali, para saudari dari si pria beserta keluarga melakukan ‘bou mondo tebo’ (kumpul bersama). Mereka mengumpulkan uang dan ternak guna menghantar kepada keluarga si gadis dalam acara ‘seū sala’ (meminta maaf). Acara ini ditandai dengan makan lauk daging babi sebagai symbol pemberi tanda resmi sudah antara si pria dan si gadis menjalin hubungan untuk pernikahan. Symbol itu ditanda dengan darah ternak babi

4.   Setelah malam keempat, si gadis mandi dan mengenakan pakaian ganti yang telah dihantar oleh saudaranya. Selanjutnya sudah bisa keluar rumah seperti biasa

5.   Tu seū sala (hantar materi meminta maaf) berupa ternak dan uang. Pria dan keluarganya menghantar kepada orang tua dan keluarga si gadis. Keluarga si gadis akan menjamu dan pada moment itu akan dilangsungkan pembicaraan tentang belis atau ‘tu ria’. Proses selanjutnya adalah seperti biasa yakni  tu ria dan nikah.

Oleh karena si gadis sudah bersama si pria, maka ketika menikah keduanya keluar bersama dari rumah pria. Pengantin perempuan bersama pengantin pria akan bertemu dengan kedua orang tua pengantin perempuan di pintu gereja lalu masuk mengikuti upacara pemberkatan. Seluruh rangkaian acara pernikahan dilangsungkan di keluarga pria. Keluarga perempuan hanya mendukung dengan memenuhi tanggungan mereka seperti pakaian nikah, cincin nikah dan perlengkapan kamar pengantin. Pada malam menjelang pernikahan, acara pati ka ata duä one nua tetap berlangsung. Begitu juga pada resepsi tetap ada acara ‘toli towa’ yang diperankan oleh keluarga pengantin perempuan. Sedangkan acara joka tu tidak lagi berlaku.

Bagi komunitas Lio yang lain, praktek ‘paru haki’ berbeda-beda. Sebagian komunitas tidak selamanya makan daging ayam selama 4 hari 4 malam. Menunggu malam keempat  baru acara bou mondo mera bela (duduk dan makan bersama) sebagai symbol peresmian terhadap hubungan si pria dan si perempuan yang lari ikut itu.

Sejumlah uangkapan yang selalu diutarakan pada saat pembicaraan adat untuk pernikahan:

  1. Talu sambu tawa rega: bersua, berkomunikasi antara kedua pihak
  2. Wuru mana wae laki: bertalin keluarga saling menghargai satu sama lain dengan regu pata (kain tenun dan beras) dan liwu eko (emas/uang dan ternak)
  3. Suu leka wuwu, wangga leka wara : junjung di kepala, pikul di bahu. Semua tuntutan menjadi tetap menjadi tanggung jawab dan masih ada hari esok untuk memenuhinya
  4. Toka, ndoi: menuntut agar dipenuhi
  5. Rina oso mi mina: minta ijin/restu
  6. Wii sia no wengi rua: masih ada hari esok
  7. Dari nika: bertanggung jawab sama antara keluarga perempuan dan keluarga laki-laki. Sama-sama mengurus rangkaian acara penikahan antara kedua pihak; sama-sama menangung biaya pernikahan
  8. Nira nikah: keluarga laki-laki datang hanya menyaksikan rangkaian acara penikahan tanpa terlibat mengurusnya. Biasanya ‘nira nikah’ terjadi manakala keluarga laki-laki memenuhi seluruh tuntutan belis dari keluarga perempuan. Oleh karena itu keluarga laki-laki hanya ingin hadir menyaksikan peristiwa dan membiarkan keluarga perempuan mengurusnya karena seluruh biaya sudah didukung.

8.  Nira nikah: keluarga laki-laki datang hanya menyaksikan rangkaian acara penikahan tanpa terlibat mengurusnya. Biasanya ‘nira nikah’ terjadi manakala keluarga laki-laki memenuhi seluruh tuntutan belis dari keluarga perempuan. Oleh karena itu keluarga laki-laki hanya ingin hadir menyaksikan peristiwa dan membiarkan keluarga perempuan mengurusnya karena seluruh biaya sudah didukung.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar