1) DHUKU TU
LENGGE LIMA, ialah perkawinan antara anak laki-laki saudari
dan anak gadis dari saudara. Lazim disebut Nika “Ana Eda“. Sering juga
disebut Paa Tua atau Fai One (isteri rumah). Makna Paa Tu’a adalah pasangan
yang nikah karena sejak kecil dijodohkan meskipun tanpa hubungan darah
2) TANA LI ALE
KELA, ialah perkawinan antara dua pasangan berdasarkan pilihan bebas suka sama
suka dan resmi dipinang dari keluarga lain sama sekali
3) ANA WAWO
PARE, ialah
perkawinan antara anak laki-laki saudari dengan anak gadis saudara, dengan
tujuan untuk melanjutkan keturunan pihak saudara, mengingat saudara tidak
mempunyai anak laki-laki sebagai ahli waris
4) MERA NOO
TEBO atau NIKA
KOO WEKI yaitu si pria masuk menjadi keluarga perempuan (kawin masuk)
karena tidak sanggung menghantar belis.
5) PARU HAKI atau PARU
DHEKO atau PARU NAI, ialah perempuan lari ikut pria baik dihantar maupun
secara diam-diam
6) LAWO
NDOKO, ialah pernikahan demi menyelamatkan si
perempuan karena telah hamil tanpa pria yang mau bertanggung jawab. Guna
menutup malu seorang pria menerima sang perempuan yang telah hamil dan
mempersuntingnya menjadi isteri. Biasanya tak ada lagi pembicaraan tentang
belis.
Sejak tahun 1909 ketika Gereja Katolik mulai ada di wilayah Lio dan mayoritas orang Lio menjadi Katholik, cara melangsungkan pernikahan secara perlahan mengikuti Hukum Kanon Gereja Katolik. Pernikahan karena DHUKU TU LENGGE LIMA atau PAA TUA atau ANA WAWO PARE ditinggalkan karena bertentangan dengan Kanon Gereja Katolik. Meskipun pada sejumlah keluarga hingga akhir abad 20 masih memberlakukannya. Tetapi memasuki abad 21 hampir seluruhnya tidak berlaku lagi. Sedangkan MERA NOO TEBO atau NIKA KOO WEKI dan LAWO NDOKO Gereja Katolik tetap mengurusnya.
Pernikahan orang Lio sejak Gereja Katholik ada mendasarkan pada 2 tahapan yakni secara adat dan secara gereja.Prosedure adat lebih berkaitan dengan tahapan kepastian kedua belah pihak untuk meminta restu pernikahan. Sedangkan procedure Gereja Katolik berkaitan dengan pengesahan pernikahan. Tulisan ini secara khusus menyoroti procedure pernikahan adat TANA LI ALE KELA atau lazim disebut TANA ALE dan PARU HAKI.
TANA LI ALE KELA
Perkwinan TANA LI ALE KELA dengan sistem pinangan
umum berlaku di komunitas Lio. Sekaligus menjadi pernyataan kewibaan keluarga
dan komunitas. Perkawinan ini masih berlaku hingga masa kini.
Prosedure adat menempuh sejumlah tahapan. Tahapan
dimulai ketika keluarga pria telah memutuskan untuk bertatap muka dengan
keluarga perempuan guna membahas prosedure adat. Tahapan-tahapannya:
1. TANA
LI ALE KELA. Pihak pria (yang bersangkutan dan atau perwakilan) mendatangi
orang tua/keluarga perempuan menanyakan kesediaan si gadis untuk hidup bersama
(menikah) dengan sang pria yang datang. Tahap ini membutuhkan kepastian jawaban
entah setuju atau tidak. Kalau setuju maka melangkah ke tahap selanjutnya.
2. NAŪ
NELU. Utusan keluarga pria mendatangi orang tua perempuan menyampaikan bahwa
keluarga perempuan akan melamar resmi yang disebut ‘teo lambu’ atau ‘teo tanda’
atau ‘ruti nata’. Pada tahap ini hasilnya adalah kesepakatan waktu untuk
melangsungkan acara dimaksud.
3. TEO
TANDA (beri tanda) atau ‘ruti nata’
(beri siri pinang) atau ru’u tu’u jaga
rara (awasi yang sudah matang). Kemudian dikenal pula dengan ‘teo lambu’
(gantung baju). Sering dimaknai sebagai tu
lo’o (hantaran kecil). Pada tahap ini keluarga pria mendatangi orang tua si
gadis membawa materi sebagai tanda untuk
mengikat perempuan. Materi yang dibawa disebut liwu eko. Liwu dalam tradisi tua adalah emas, namun sekarang sudah
diganti dengan uang. Nilai emas dalam tradisi Lio beragam sesuai kesanggupan
pria dan keluarganya. Sedangkan eko adalah ternak peliharaan seperti kerbau,
kuda, sapi dan babi. Jumlah yang dibawa tergantung kesanggupan sang pria dan
keluarganya. Pembicaraan dan acara
melewati 5 tahap. Pertama: pihak keluarga si gadis menanyakan
maksud kehadiran keluarga pria. Sebelum memulai pembicaraan, jubir keluarga si
gadis terlebih dahulu meletakan selembar ragi
mite (kain pria) di depan jubir keluarga pria. Maksud dari peletakan ragi
mite adalah mengalasi seluruh pembicaraan kedua belah pihak. Kedua, pihak keluarga pria yang diwakili
oleh jubir menjawab pertanyaan dengan menyampaikan maksud kedatangan mereka.
Inti dari pembicaraan adalah melamar atau menggantung baju atau memberi tanda
kepada si gadis dan keluarganya agar tidak lagi
menerima pria lain. Pembicaraan pada tahap ini sekaligus menunjukkan
materi-materi yang dibawa yaitu liwu dan
eko. Ketiga, pihak keluarga si
gadis menyatakan persetujuan. Persetujuan dari pihak si gadis dan keluarganya
dinyatakan dengan menyerahkan satu paket pakaian adat pria kepada sang pria
yang melamar itu. Penyerahan dilakukan oleh si gadis yang dilamarnya itu.
Ketika si gadis meletakan tanda mata di hadapan sang pria, sang pria wajib
meletakan sejumlah uang di bawah paket pakaian. Jika sudah diletakan maka paket
itu akan diambil oleh si gadis untuk disimpan sementara di ruang persiapan.
Uang yang diletakan oleh si pria adalah tanda balasan dan penghargaan kepada sang
gadis. Keempat, wejangan/nasehat
kepada sang pria dan si gadis yang telah bersepakat untuk menjalani hubungan.
Intinya adalah kedua belah pihak meminta kepada masing-masing untuk saling
menjaga hubungan yang sudah dijalin. Tidak menerima gadis lain maupun pria
lain. Selain itu memberi tahu kepada si pria dan si gadis untuk boleh datang
bertamu atau menginap di rumah keduanya.
Namun ada batas yaitu belum bisa tidur bersama. Kelima, pihak keluarga si gadis menyampaikan nilai belis kepada keluarga pria. Pada tahap ini keluarga
pria bersifat pasif yaitu hanya mendengarkan apa yang diminta oleh pihak keluarga
si gadis. Usai tahapan ini, keluarga pria langsung berpamitan untuk kembali ke
tempat mereka. Proses lanjutan yang dilakukan oleh keluarga si gadis adalah
menghantar ‘genu wena’ (makanan yang
dihidangkan pada acara lamaran dan paket pakaian adat pria yang telah
disampaikan pada acara lamaran) kepada keluarga pria. Mereka menghantar sampai
di rumah tinggal pria. Di sana pihak yang menghantar akan dijamu, lalu ketika
akan kembali pihak keluarga pria menyerahkan ‘je tora are’ (bersihkan sisa makanan) berupa sejumlah uang sebagai
tanda terima kasih. Lazim disebut ‘pusi benga’. Makna pusi benga adalah
mengisi kembali bakul yang telah kosong dari keluarga si gadis sehingga ketika
mereka kembali masih ada isinya. Makna simbolis adalah kedua belah pihak saling
memberi hormat dan penghargaan.
4. BOU
MONDO atau bou tebo (kumpul keluarga) adalah acara yang digelar oleh keluarga
laki-laki untuk mengumpulkan keluarga besar guna memobilisasi sumber daya
berupa ternak, emas atau uang guna dihantar kepada keluarga perempuan dalam
acara tu ria. Biasanya terlaksana
menjelang waktu pelaksanaan tu ria.
Hasil yang didapatkan pada bou mondo akan dihantar seluruhnya kepada keluarga
perempuan dalam acara hantar belis (tu
ngawu). Pada waktu bou mondo, si gadis calon pengantin juga ada bersama
keluarga laki-laki. Kehadirannya untuk berkenalan dengan keluarga besar
laki-laki. Ketika datang dari rumahnya ke keluarga pria, si gadis akan ditemani
oleh seseorang dari keluarganya. Mereka membawa beras dan kue filu/ndene
sebagai ole-ole
5. TU
RIA (hantaran besar) adalah acara penghantaran belis oleh keluarga pria kepada
keluarga si gadis yang telah diikat sebelumnya. Sebelum dilangsungkan acara
hantaran belis biasanya keluarga pria melakukan naū nelu (menetapkan waktu) dengan keluarga si gadis. Di tahap ini
keluarga pria membawa liwu eko sesuai
permintaan dari keluarga perempuan. Biasanya ada sejumlah pihak dari kalangan si
gadis yang akan menerima pemberian (belis) dari keluarga pria. Mereka itu
adalah ine – ame (kedua orang tua
perempuan), eda embu (om kandung), nara ame (saudara kandung), dan majo –majo. Majo adalah pihak-pihak
terkait di luar ketiga pihak di atas yang dianggap layak oleh keluarga si gadis
untuk juga menerima belis karena jasa-jasa mereka kepada si gadis dan orang
tuanya. Bagi om kandung ada dua bagian yang patut dihargai yaitu
sebagai eda embu (pemegang gagang)
dan sebagai pido puū rete hamu
(sebagai akar atau sumber). Sedangkan
saudara kandung dipandang sebagai pengayom dan pendekar dengan sebutan mendi sau (senjata - kelewang) dan saka jara (menunggang kuda). Ukuran nilai dari sejumlah pihak yang patut
menerima pun berbeda. Prinsipnya orang tua kandung terbesar. Lalu om kandung,
kemudian saudara kandung lalu para majo.
Ketika waktu ‘tu
ria’ disepakati maka berlangsunglah acara tersebut dengan sejumlah prosesi:
1) Tama
mai;
rombongan keluarga laki-laki datang ke keluarga si gadis dengan membawa
sejumlah materi sesuai peruntukan masing-masing. Ketika hendak memasuki kintal
rumah, pihak keluarga perempuan akan menyapa dengan kata-kata, “tolo nata pati bako…” (siapkan siri
pinang dan rokok untuk mereka yang datang). Sapaan ini dengan nada suara yang
besar seakan-akan memberi tahu segenap keluarga perempuan bahwa tamu yang
ditunggu sudah ada dan keluarga perempuan siap untuk menyambutnya
2)
Rombongan akan menempati tempat yang
telah tersedia. Biasanya duduk di tanah beralaskan tikar. Karena itu yang
datang juga selalu mengenakan kain sarung pria maupun perempuan. Selanjutnya
rombongan dijamu awal dengan hidangan siri pinang dan rokok serta minuman
berupa kopi, teh dan filu/ndene (kue
cucur adat)
3) Ka
geju mai (makan pembuka). Rombongan keluarga lelaki dijamu
oleh keluarga si gadis dengan sajian makan pembuka. Maksud dari makan pembuka
adalah menguatkan kelelahan rombongan setelah menempuh perjalanan yang jauh dan
memikul beban material seperti tarik ternak besar (kerbau, sapi atau kuda) dan
pikul ternak sedang seperti babi
4) Ka ria (makan besar/ resmi adat).
Rombongan keluarga lelaki dijamu santap bersama dengan hidangan secara adat.
Seluruh hidangan yang telah disiapkan oleh keluarga si gadis disajikan kepada
rombongan keluarga laki-laki baik makanan maupun minuman arak/beralkhol
5) Ru’e
hibi, pesa wawi ndota (makan emping beras dan daging babi cincang)
adalah jamuan ringan yang dihidangkan untuk menyertai kedua keluarga ketika
berdialog tentang hantara adat/belis
6) Dialog adat berkaitan dengan hantara
belis. Ada dua pihak yang berperan yakni jubir kedua keluarga dan om kandung
dari si gadis yang hendak menerima belis. Pembicaraan diawali oleh keluarga
laki-laki yang menyampaikan jenis dan nilai hantaran mereka dan peruntukannya
masing-masing (orang tua, saudara kandung dan para majo) selain untuk eda
embu-puu hamu (Om Kandung). Selanjutnya keluarga perempuan akan merespon
sesuai materi pembicaraan. Kalau belum setuju dengan jenis dan nilai yang
dihantar, maka akan berlanjut dengan dialog tawar menawar. Kalau sudah
disetujui maka keluarga si gadis akan menghidangkan kain tenun berupa ragi (untuk laki-laki) dan lawo (untuk
perempuan) sesuai jumlah yang telah disampaikan oleh keluarga laki-laki. Jumlah
ragi dan lawo yang disiapkan oleh
keluarga perempuan berdasarkan permintaan dari keluarga laki-laki karena akan
diperuntukan bagi pihak-pihak yang terlibat mendukung materi yang dihantar
kepada keluarga si gadis. Pada kain-kain ternun yang dihidangkan kepada
masing-masing pihak, masing-masingnya merespon dengan meletakan uang di dalam
lipatan kain tenun. Kalau semua sudah diletakan uang, keluarga si gadis akan
mengangkat kembali hidangan kain tenun untuk disimpan dalam ruang persiapan.
Jubir keluarga si gadis akan memastikan bagian acara untuk penghargaan kepada
orang tua dan para majo selesai. Selanjutnya pihak eda embu-puu hamu (om kandung) akan berbicara langsung kepada keluarga pria
tentang materi yang perlu diterima olehnya sebagai eda embu-puu hamu (om kandung). Sebelum memulai pembicaraan pihak
Om kandung meletakan satu lembar kain
tenun sebagai alas pembicaraan. Om kandung menyampaikan tuntutannya. Kalau
keluarga pria belum bisa memenuhi sesuai permintaan akan berlanjut dengan
dialog/komunikasi tawar menawar hingga disetujui. Kalau langsung memenuhi, maka
pihak om kandung akan menyambutnya dengan menghidangkan sejumlah lembaran kain
tenun kepada keluarga pria. Keluarga pria yang menerima menyambutnya dengan
meletakan uang dalam lipatan kain tenun. Jika sudah meletakan uang maka
hidangan kain tenun akan diambil keluarga perempuan untuk disimpan sementara di
ruang persiapan
7) Gare nikah (pembicaraan tentang
pernikahan). Bagian ini jubir dari keluarga pria menyampaikan kepada keluarga si
gadis tentang rencana pernikahan. Alasan karena belis sudah dihantar, maka
perlu segera melangsungkan pernikahan. Pihak keluarga si gadis akan meresponnya
sesuai konsep mereka. Umumnya pembicaraan detil tentang rencana pernikahan akan
dibahas khusus antara jubir dan utusan keluarga dari kedua belah pihak pada
hari khusus. Meski demikian keluarga si gadis akan menyampaikan sejumlah tuntutan
terkait dengan urusan menuju hari
pernikahan. Urusan-urusan itu antara lain:
§ Urusan
Kursus Persiapan Pernikahan
§ Urusan
kanonik dan panggil nama
§ Urusan
bangun tenda acara
§ Urusan
tanggungan dari pihak keluarga pria: sejumlah ternak sesuai kepentingan seperti
eko pai naja (ternak untuk panggil nama), eko kema fao (ternak untuk kerja
tenda), eko banga fara (ternak untuk makan bagi mereka yang bekerja pada acara
puncak pernikahan), eko ndota poo (ternak yang diberikan oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan untuk makan
bersama. Biasanya ternak yang dimaksudkan adalah babi sehingga disebut wawi
ndota poo. (Daging babi dicincang lalu dimasak dalam bamboo), serta eko nikah
dengan liwunya (duitnya) adalah tanggungan ternak dan uang belanja pada acara
pernikahan.
§ Urusan
tanggungan keluarga si gadis yang dituntut oleh pihak laki-laki seperti guru
nikah (cincin nikah), pakaian nikah beserta perlengkapannya serta joka tu
(menghantar perempuan ke rumah laki-laki setelah menikah)
8) Ka wele walo (makan penutup ketika
hendak pulang. Keluarga si gadis menjamu kembali keluarga laki-laki santap
bersama. Santap penutup sebagai bekal tenaga untuk rombongan yang hendak
kembali ke rumah atau kampung halaman mereka.
9) Tu genu wena adalah menghantar makanan yang dihidangkan
pada acara tu ria dan seluruh kain tenun yang telah disampaikan pada acara hantaran
besar sebagai symbol persetujuan dari keluarga si gadis kepada keluarga pria. Yang memimpin acara hantaran ini adalah si
gadis itu sendiri. Mereka menghantar sampai di rumah tinggal laki-laki. Di sana
pihak yang menghantar akan dijamu, lalu ketika akan kembali pihak keluarga pria
kembali menyerahkan ‘je tora are’ berupa sejumlah uang sebagai tanda terima
kasih yang disebut ‘pusi benga’. Selain
itu pihak keluarga pria juga menyerahkan ‘tege
loge’ berupa eko (ternak) sebagai penghargaan kepada orang tua dan keluarga
si gadis yang telah menghantar tanda penghargaan. Biasanya jumlah uang untuk
pusi benga buat bagian orang tua atau om kandung berbeda nilainya dengan
saudari-saudara yang lain. Saat kembali
calon pengantin perempuan tetap tinggal di rumah keluarga calon suami.
Alasannya adalah untuk menghantar kain tenun kepada masing-masing keluarga yang
telah terdaftar karena mendukung materi baik ternak maupun emas atau uang yang
dihantar untuk keluarga perempuan. Saat si gadis menghantar kain tenun kepada
masing-masing keluarga pria, si penerima akan menghadiahkan lagi si gadis itu
dengan uang
6. NIKA
KAWI. Laki-laki dan perempuan yang sudah menyelesaikan tahapan adat,
mendapatkan pengesahan dari agama (Katolik). Tahapan-tahapan menuju pernikahan
antara lain:
§ Mengikuti
Kursus Persiapan Pernikahan (bagian Gereja Katholik)
§ Penyelidikan
Kanonik (bagian Gereja Katolik)
§ Pemanggilan
nama di Gereja paroki selama 3 minggu berturut-turut (bagian Gereja Katolik)
§ Pembinaan
terakhir sebelum pernikahan (bagian Gereja Katolik)
§ Pernikahan
(bagian Gereja Katolik) dan resepsi oleh keluarga perempuan
o
Malam menjelang pernikahan, pihak
keluarga perempuan melakukan sebuah acara yaitu ‘pati ka ata du’a one nua’ (menjamu makan bagi orang tua/sesepuh
kampung). Acara ini bermakna memohon ijin kepada sesepuh kampung sekaligus
meminta dukungan mereka untuk pelaksanaan acara pernikahan dan resepsi besoknya
o
Ketika akan melangsungkan pernikahan
kedua calon pengantin akan datang dari keluarga masing-masing bersama orang tua
dan sanak saudara. Mereka berjalan dari arah masing-masing dan baru bertemu di
depan pintu gerbang gereja. Saat itu pula baru pertama kali orang tua pria
bertemu langsung dengan orang tua si gadis. Selanjutnya mengikuti rangkaian
pemberkatan nikah di gereja
o
Usai pemberkatan, orang tua dan keluarga
pria diundang oleh keluarga si gadis untuk pergi ke rumah keluarga si gadis;
tempat dilangsungkan resepsi
o
Di saat resepsi pihak keluarga pengantin
perempuan akan melangsungkan acara ‘toli
towa’ yakni segenap keluarga perempuan dengan kain tenun masing-masing
menghantar kehadapan pengantin sambil berjabatan tangan. Makna toli towa adalah keluarga perempuan
resmi melepaskan anak mereka untuk bergabung dengan keluarga laki-laki karena
telah resmi menikah
o
Ketika usai resepsi, akan dilangsungkan
acara masuk kamar pengantin. Pengantin pria dan pengantin perempuan masuk
bersama ke dalam kamar pengantin. Di saat akan masuk ke kamar pengantin, si
pria harus memberikan penghargaan kepada 4 perempuan dari keluarga pengantin
puteri berupa sejumlah uang. Penghargaan itu dikenal dengan “pido kulambu’ (penjaga kulambu)
o
Pengantin selama 4 hari 4 malam tidak
keluar rumah. Mereka berdua berada dalam rumah. Kondisi ini memiliki pesan
mistik yakni mereka harus memulai membuat ‘sarang’, memilin benang; mengalami
kebersamaan sebagai suami dan isteri dalam rumah tangga.
7. JOKA
TU adalah acara menghantar pengantin perempuan kepada rumah keluarga pengantin
laki-laki secara resmi setelah malam keempat. Pada acara ini keluarga perempuan
akan membawa hantaran berupa mbeka wati (siri pinang dalam tempatnya yang khusus),
padi atau beras dalam jumlah yang memadai, kain tenun pria dan wanita, kado-kado
waktu resepsi pernikahan selain uang, seluruh perlengkapan kamar pengantin,
perlengkapan rumah tangga lainnya dan sarana ketrampilan pengantin perempuan
seperti alat tenun bagi yang menenun atau mesin jahit bagi yang menjahit. Ada
juga sebidang tanah dari orang tua
sebagai modal mengais hasil pertanian atau lainnya guna mendukung ekonomi rumah
tangga. Barisan paling depan adalah pengantin puteri sambil membawa ‘mbeka wati dan mota heu’ (siri pinang
yang tersimpan dalam tempatnya) Keluarga
laki-laki akan menyambut dan menjamu kehadiran seluruh keluarga perempuan yang
datang menghantar
Rangkaian prosesi perkawinan TANA LI ALE KELA dengan sistem pinangan ini dalam perkembangan zaman mengalami pemotongan tahapan untuk mempersingkat proses. Adapun alasan yang selalu dipertimbangkan:
- Keadaan ekonomi yang tidak memadai untuk memobilisasi material selama proses perkawinan
- Mempersingkat waktu dan menghemat biaya. Pada moment TU RIA makan tidak lagi 3 kali melainkan hanya 2 kali bahkan sekali saja.
- Materi untuk belis seperti ternak besar: kerbau, sapi bahkan kuda susah didapatkan lagi. Begitu pula emas warisan masa lalu sudah langka. Olehnya nilai emas (liwu) umumnya sudah diganti dengan uang semata
- Dukungan family atau keluarga terbatas. Banyak keluarga dekat yang sudah memilih berpindah ke daerah dan pulau lain sehingga menyulitkan mobilisasi sumber daya
PARU HAKI/PARU
DHEKO
Cara ‘paru
haki’ (lari ikut). Lari ikut ada dua versi yakni pertama, dihantar oleh
keluarga si gadis kepada keluarga pria atau diam-diam ikut pria ke rumah
keluarganya. Kedua, ‘ruti leda’
(minta tinggal terus/menahan si gadis di rumah si pria). Versi pertama lebih
karena alasan: takut kehilangan calon suami atau selama berpacaran melakukan
aksi kemesraan atau sampai hubungan badan sehingga hamil. Versi kedua lebih
karena si pria kesulitan mendapatkan perempuan atau tidak pandai berpacaran.
Olehnya ada perempuan yang datang ke rumah mungkin masih ada pertalian keluarga
langsung ditahan. Tahapan PARU HAKI sebagai berikut:
1. Selama
4 malam, si gadis yang telah berada di rumah keluarga si pria tidak boleh
keluar rumah. Bagi komunitas Mbuli (bagian Selatan Lio Tengah) selama 4 hari 4
malam si gadis hanya ada di dalam rumah. Sedangkan si pria pada moment 4 hari
itu adalah memberi tahu segenap saudarinya bahwa calon isterinya sudah ada di
rumah. Di saat si pria akan kembali, para saudarinya akan menghadiahkan seekor
ayam kepada saudara mereka sebagai lauk bagi si calon iparnya. Selama 4 hari 4
malam si gadis hanya makan lauk daging ayam. Ketika setiap kali makan si gadis
hanya akan ditemani oleh salah satu saudari dari si pria. Si gadis seola-ola
diisolasi selama 4 malam.
2. Pada
hari keempat, saudara kandung dari si gadis itu melakukan acara ‘mbana gae’ (pergi cari). Saudara si
gadis datang mencari saudarinya ke rumah
si pria. Saudara yang datang membawa serta regu
pata (beras dan kain tenun) serta pakaian ganti bagi saudarinya. Ketika
saudara si gadis akan pulang, si pria menghadiahkan kepada saudara si gadis
sebilah ‘sau’ (kelewang) atau ‘topo’ (parang) dan sejumlah uang sebagai symbol
‘tata jala’ (bersihkan jalan).
3. Pada
hari keempat pula ketika saudara kandung si gadis sudah kembali, para saudari
dari si pria beserta keluarga melakukan ‘bou mondo tebo’ (kumpul bersama).
Mereka mengumpulkan uang dan ternak guna menghantar kepada keluarga si gadis
dalam acara ‘seū sala’ (meminta maaf). Acara ini ditandai dengan makan lauk
daging babi sebagai symbol pemberi tanda resmi sudah antara si pria dan si
gadis menjalin hubungan untuk pernikahan. Symbol itu ditanda dengan darah
ternak babi
4. Setelah
malam keempat, si gadis mandi dan mengenakan pakaian ganti yang telah dihantar
oleh saudaranya. Selanjutnya sudah bisa keluar rumah seperti biasa
5. Tu
seū sala (hantar materi meminta maaf) berupa ternak dan uang. Pria dan
keluarganya menghantar kepada orang tua dan keluarga si gadis. Keluarga si
gadis akan menjamu dan pada moment itu akan dilangsungkan pembicaraan tentang
belis atau ‘tu ria’. Proses
selanjutnya adalah seperti biasa yakni tu ria dan nikah.
Oleh karena si gadis sudah bersama si pria, maka ketika menikah keduanya keluar bersama dari rumah pria. Pengantin perempuan bersama pengantin pria akan bertemu dengan kedua orang tua pengantin perempuan di pintu gereja lalu masuk mengikuti upacara pemberkatan. Seluruh rangkaian acara pernikahan dilangsungkan di keluarga pria. Keluarga perempuan hanya mendukung dengan memenuhi tanggungan mereka seperti pakaian nikah, cincin nikah dan perlengkapan kamar pengantin. Pada malam menjelang pernikahan, acara pati ka ata duä one nua tetap berlangsung. Begitu juga pada resepsi tetap ada acara ‘toli towa’ yang diperankan oleh keluarga pengantin perempuan. Sedangkan acara joka tu tidak lagi berlaku.
Bagi komunitas Lio yang lain, praktek ‘paru haki’
berbeda-beda. Sebagian komunitas tidak selamanya makan daging ayam selama 4
hari 4 malam. Menunggu malam keempat baru
acara bou mondo mera bela (duduk dan
makan bersama) sebagai symbol peresmian terhadap hubungan si pria dan si
perempuan yang lari ikut itu.
Sejumlah uangkapan yang selalu diutarakan pada saat pembicaraan adat untuk pernikahan:
- Talu sambu tawa rega: bersua, berkomunikasi antara kedua pihak
- Wuru mana wae laki: bertalin keluarga saling menghargai satu sama lain dengan regu pata (kain tenun dan beras) dan liwu eko (emas/uang dan ternak)
- Suu leka wuwu, wangga leka wara : junjung di kepala, pikul di bahu. Semua tuntutan menjadi tetap menjadi tanggung jawab dan masih ada hari esok untuk memenuhinya
- Toka, ndoi: menuntut agar dipenuhi
- Rina oso mi mina: minta ijin/restu
- Wii sia no wengi rua: masih ada hari esok
- Dari nika: bertanggung jawab sama antara keluarga perempuan dan keluarga laki-laki. Sama-sama mengurus rangkaian acara penikahan antara kedua pihak; sama-sama menangung biaya pernikahan
- Nira nikah: keluarga laki-laki datang hanya menyaksikan rangkaian acara penikahan tanpa terlibat mengurusnya. Biasanya ‘nira nikah’ terjadi manakala keluarga laki-laki memenuhi seluruh tuntutan belis dari keluarga perempuan. Oleh karena itu keluarga laki-laki hanya ingin hadir menyaksikan peristiwa dan membiarkan keluarga perempuan mengurusnya karena seluruh biaya sudah didukung.
8. Nira
nikah: keluarga laki-laki datang hanya menyaksikan rangkaian acara penikahan
tanpa terlibat mengurusnya. Biasanya ‘nira nikah’ terjadi manakala keluarga
laki-laki memenuhi seluruh tuntutan belis dari keluarga perempuan. Oleh karena
itu keluarga laki-laki hanya ingin hadir menyaksikan peristiwa dan membiarkan keluarga
perempuan mengurusnya karena seluruh biaya sudah didukung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar