Oleh Matheus Antonius Krivo-Relawan untuk Kemanusiaan Flores bagi Pengungsi Timor Timur,1999-2004
Salah satu upaya untuk menyelesaikan masalah pengungsi warga Timor Timur di wilayah Indonesia adalah melakukan rekonsiliasi antara pihak-pihak yang bertikai.Pihak yang bertikai yakni warga pro integrasi/Indonesia dengan warga pro kemerdekaan Timor Leste. Kedua pihak yang bertikai perlu bersatu kembali dalam dimensi emosional sebagai sesama warga Timor Leste. Rekonsiliasi adalah jalan damai menyongsong masa depan penuh pengharapan antara kedua belah pihak. Muara dari rekonsiliasi adalah normalisasi hubungan antara Timor Leste dengan Indonesia. Warga kedua belah pihak tetap melakukan interaksi social secara normal meskipun berbeda negara. Apalagi antara Timor Leste dan Timor Barat (Indonesia) berada dalam satu pulau yang sama yakni Timor.
Hingga tahun 2001 warga
Timtim yang masih berada di Timor Barat terdiri dari dua kelompok besar yakni
para pekerja:pegawai atau aparatur negara dan para Pejuang Integrasi beserta
keluarga besar masing-masing. Menyuruh para pekerja pulang ke kampung halaman
merupakan sesuatu yang sulit karena mereka lebih memilih menetap dengan alasan
jaminan kesejahteraan. Kaum pekerja berpandangan bahwa meskipun jauh dari tanah
tumpah darah tetapi mereka masih punya harapan untuk melanjutkan hidup dari gaji
yang mereka dapat dari pemerintah Republik Indonesia.
Begitu halnya menyuruh para pejuang pulang bukan juga
gampang. Kendati tidak cukup ruang lagi di Indonesia untuk konsolidasi tapi
kelompok ini masih memiliki obsesi perjuangan yakni ingin menegakkan Integrasi
di Timor Leste. Pilihan kepada integrasi telah merupakan komitmen apalagi
ekspresi perjuangan itu sendiri telah menempatkan para Pejuang Sipil Integrasi,
pemuda, veteran 59 dan 75 serta berbagai organisasi pro integrasi lainnya jauh dari sense of belonging
terhadap tanah tumpah darah Timor Leste. Penghancuran secara menyeluruh
terhadap Timor Leste sebagai reaksi atas kekalahan jajak pendapat September-Oktober
1999 merupakan realitas yang bukan tidak mungkin menimbulkan jurang pemisah
antara kedua kelompok warga Timor Leste. Oleh karena keterlibatan warga Timor
Timur pro Indonesia dalam menghancurkan Kota Dili dan daerah lain telah menjadi
halangan terbesar untuk kembali ke Timor Leste dengan aman dan damai. Perasaan
takut, cemas, dan terancam selalu menghantui mereka manakala memikirkan untuk
pulang ke kampung halaman. Menghadapi kondisi psikologis demikian, usaha
rekonsiliasi menjadi salahs atu jalan keluar bagi proses penyelesaian
kebingungan mengambil keputusan final: entah kembali atau menetap di
Indonesia.
Proses menuju rekonsiliasi memang bukan pekerjaan
mudah. Apalagi dalam usaha merujuk kembali harus pula mengurusi pihak-pihak
yang terkait dengan pembunuhan, pembakaran, penculikan, penghancuran, dan
penjarahan. Sangat pasti bahwa proses
menuju rekonsiliasi membutuhkan waktu, energi serta dana yang besar. Meskipun
sulit, tapi langkah rekonsiliasi harus dimulai supaya semua pihak yang
bermasalah dari berbagai kelompok dan wilayah; entahkah itu yang mendukung pro
kemerdekaan ataupun yang pro
Sejak warga Timtim terlibat dalam konflik kekerasan,
banyak suara yang menyerukan perdamaian atau rekonsiliasi. Begitu pula halnya ketika sebagian warga
Timtim harus terpaksa mengungsi ke
Rekonsiliasi Babak Pertama: Upaya Penghentian Kekerasan Sebelum Jajak Pendapat
Upaya rekonsiliasi pada tahap pertama ditujukan
terutama untuk mengurangi tingkat konflik dan kekerasan antar warga yang
bertikai baik antara warga Timor Timur maupun dengan pihak pemerintah Indonesia
dalam hal ini angkatan bersenjata (TNI dan Polisi).
Dalam Tinjauan Sejarah dan Konsep Forum Rekonsiliasi
Rakyat Timor Timur tentang Rekonsiliasi Politik antara Rakyat Timor Timur Pasca
Jajak Pendapat oleh Drs. Fransisko Lopes de Carvalho (
Selanjutnya berlangsung berbagai pertemuan lain untuk
rekonsiliasi antar kubu pro kemerdekaan dan pro Indonesia/Integrasi seperti di
Disamping pertemuan
dilakukan pula kesepakatan damai secara massal
antara kedua pihak yang bertikai sebelum Jajak Pendapat. Kesepakatan itu
ditandatangani pula oleh masing-masing utusan dari kedua kubu di Dili pada
tanggal
Dari sekitar
sepuluh lebih pertemuan merujuk perdamaian yang terjadi pada babak pertama
terlihat nyata bahwa setelah pertemuan yang melelahkan, membutuhkan banyak
sumber daya dan diprakarsai atau dimediasi oleh banyak pihak seperti PBB,
Gereja, Pemerintah RI, NGO Internasional ternyata masing-masing pihak cenderung
kembali kepada aksi kekerasan. Akhirnya kekerasan itu pun memuncak dengan
hangusnya Dili dan Timtim pada umumnya pasca pengumuman jajak pendapat 4
September 1999 dan memaksa lebih seperempat juta warga Timor Timur mengungsi ke
Timor Barat
Sesuatu yang
menarik dari proses menuju rekonsiliasi pada babak pertama yakni bersifat
eksklusif yakni mengedepankan pola pendekatan top down, sehingga yang
terlibat hanya pihak-pihak yang tergolong elite di masing-masing kubu.
Masyarakat pada lapisan grass root (pelaku dan korban) sama sekali belum
disentuh. Proses yang terjadi lebih merupakan ‘kompromi politik’ dari para
elite yang berkuasa dengan tujuan jangka pendek yakni menghentikan kekerasan.
Sementara tujuan jangka panjang yakni menciptakan perdamaian yang utuh dan
tuntas masih berjalan di awan-awan.
Rekonsiliasi Babak Kedua:Masa Transisi UNTAET Pasca Jajak Pendapat
Pada babak kedua kondisi yang
paling khas adalah pengungsian sebagian warga Timor Timur ke Timor Barat dan
bagian lain di Indonesia. Suatu masa dimana konflik kekerasan pada September
1999 telah berakhir dan berkuasanya pemerintahan transisi PBB. Upaya perdamaian
kembali bersemi manakala menyaksikan betapa tragisnya konflik pasca pengumuman
Jajak Pendapat hingga berdampak pada pengungsian warga yang mengerikan.
Uppsala University dari Swedia sejak tahun 2000 bergiat memfasilitasi pertemuan dan dialog antara kubu Pro Kemerdekaan dan Pro Integrasi diantaranya di Tokyo, Singapura, Bali dan Baucau. Dengan adanya dialog-dialog pada berbagai tempat itu telah memungkinkan terlaksananya pula pertemuan dan dialog pada kalangan masyarakat di perbatasan atau di kamp-kamp pengungsian Timor Barat seiring dengan kegiatan go and see visit. Oleh berbagai dialog yang terus berlangsung telah memungkinkan terjadi dua peristiwa penting yang merupakan simbol kemajuan proses rekonsiliasi yakni:
- Berlangsungnya dua
kali kunjungan Uskup Baucau Mgr. Basilio do Nascimento. Kunjungan pertama ke
Atambua berlangsung pada tanggal 9-10 Juni 2000. Kunjungan kedua ke Kupang
berlangsung pada tanggal 28-31 Mei 2001. Kunjungan uskup merupakan wujud
kepedulian gereja untuk mempersatukan kembali warga Timor Leste. Pada
kunjungan kedua, uskup menyertakan anggota Dewan Rekonsiliasi antara lain
Frasisco Guteres, Paul Asis dan Fransisco Berlacu serta 6 Liurai untuk
bertatap muka dengan saudara mereka di Timor Barat.
- Berlangsung tiga kali kunjungan Mr. Xanana Gusmao. Mula-mula ke Kupang pada tanggal 26-28 Nopember 2001. Kemudian ke Atambua dan Kefamenanu pada tanggal 4 April 2002. Selanjutnya berkunjung lagi ke Kupang, Kefamenanu dan Atambua pada tanggal 1-4 Nopember 2002.
Ada dua bentuk proses rekonsiliasi yang berlangsung pada tahap kedua yakni pertemuan dalam forum resmi dan go and see visit dari dan ke Timor Leste.
A.
PERTEMUAN
Sejumlah pertemuan yang merupakan pentahapan rekonsiliasi antar warga Timor Leste yang masih di Timor Barat/Indonesia dengan yang berada di Timor Leste/Pro Kemerdekaan.
1.
Pertemuan Motaain, 12 Desember 1999
Peserta
dari Timor Leste terdiri dari Xanana Gusmao, Falur Ratelaek (Komandan Rayon
III), Dominggus Candoso (Sekretaris Rayon Falintil), Letkol. Pol. Paulo Martins
(Komandan Civpol Timtim). Peserta dari kalangan pro Integrasi antara lain Joao
da Silva Tavares, Kol. Inf. Jurefar (Danrem 161 Wirasakti), Kol. Inf. Moedjito
Area (Ketua Bakortanasda Pangdam IX Udayana) Letkol. Inf. Djoko Subandrio (Dandim
1605 Belu), Letkol. Inf. M. Manurung (Dandim 1618 TTU) Letkol. Pol. R. Muh.
Arifin (Plh. Kapolres Belu), Drs. Marsel Bere (Bupati Belu), Blasius J. Manek,
BA (Ketua sementara DPRD Belu). Turun hadir dalam pertemuan tersebut sejumlah
komandan Bataliyon PPTT (Pimpinan Pejuang Timor Timur).
Materi
Pembicaraan:
- Dari pihak Timor Leste
mengajukan beberapa pemikiran:
1. Pihak Timor Leste
menyadari bahwa rekonsiliasi merupakan jalan terbaik membangun Timor Leste menjadi
Timtim baru dan melaluinya semua pihak sehati sejiwa menata masa depan. Namun
dibutuhkan sikap rendah hati dan saling menerima antar kubu Falintil dan Parpol
Timor Timur;
2. Menaruh harapan
yang besar untuk kembalinya pengungsi ke Timor Leste;
3. Jaminan keamanan merupakan
tanggungjawab setiap rakyat Timor Leste;
4. Mengharapkan
persatuan dan kebersamaan dalam membangun daerah Timor Leste;
5. Melupakan segala
masa lalu untuk menata Timtim menjadi negara yang berwibawa dan bermartabat.
- Dari pihak Timor Barat hanya mengusulkan satu hal yakni menyangkut jaminan keamanan. Pihak Pro-integrasi siap untuk kembali ke Timor Leste jika keamanan sungguh terjamin. Khususnya keamanan di tingkat desa.
2. Pertemuan
Denpasar, 18-19 Desember 2000
Peserta yang hadir dari kalangan pro
Indonesia adalah perwakilan Uni Timor Aswain (UNTAS) dan dari Timor Leste yaitu
perwakilan CNRT.
Beberapa Pertimbangan:
1. Rekonsiliasi
murni dan inklusif antar orang Timtim adalah salah satu kunci diantara beberapa
pertimbangan penyelesaian akhir berbagai masalah antara orang Timtim sejak
tahun 1975;
2. Rekonsiliasi
merupakan suatu proses yang membutuhkan waktu dan itikad baik bagi seluruh
orang Timtim;
3. Kebutuhan untuk
menyelesaikan berbagai perbedaan antar orang Timtim untuk membangun saling
kepercayaan;
4. Mempunyai kemauan
untuk membangun perdamaian melalui rekonsiliasi antara orang Timtim berdasarkan
pada persaudaraan dan penghargaan bersama;
5. Menyampaikan
penghargaan kepada Departemen Penelitian tentang perdamaian dan konflik dari Upsala
University Swedia, pemerintah Indonesia dan Untaet atas bantuannya dalam
memfasilitasi pertemuan dan mengharapkan dukungan yang berkelanjutan.
- Menutup lembaran
gelap masa lalu yang ditandai dengan berbagai konfrontasi, kebencian dan
kekerasan antar kelompok partai yang terlibat dalam masalah Timtim dan
membuka lembaran baru yang anti kekerasan untuk membangun suatu Timor
Timur yang damai, aman, demokratis dan sejahtera tanpa membedakan latar belakang
orientasi politik dan afiliasi;
- Meneruskan dialog
dan proses rekonsiliasi untuk mengkontribusikan pemikiran-pemikiran yang
objektif;
- Menyetujui dialog
kedua yang akan terjadi di Dili dalam tahun 2001 ini;
- Membentuk kelompok kerja antar Untas dan CNRT untuk mengidentifikasi masalah dan isu yang nantinya akan diusulkan pada pertemuan dialog rekonsiliasi ke-II berikutnya.
3. Pertemuan
Perdana Biara Carmel
Penfui, 3 April 2001
Sebelum
terjadinya pertemuan awal di Biara Karmel OCD, kisah ini dimulai dengan
perjumpaan pertama antara Pastor Hubert Thomas Hasulie, SVD dengan Cancio Lopes
de Carvalho, salah satu Komandan PPI Sektor C dan Nemecio Lopes de Carvalho (Wakil
Komandan Mahidi) pada tanggal 12 Maret 2001 di kediaman Cancio, Penfui Kupang.
Ikut serta dalam pertemuan tersebut Pastor Clemens Hayon, SVD, Pius Rengka (Pemred
Sasando Pos).
Perjumpahan kali pertama yang
mengesankan itu dilanjutkan pada besoknya, 13 Maret 2001, dengan peserta yang
sama. Setelah melewati dialog yang intens akhirnya disepakati perlunya
koordinasi bersama untuk mengkonsolidasi dan menghimpun aspirasi anggota. Dengan
itu menjadi alasan untuk negosiasi dan dialog antara PPI dengan
Falintil/FDTL. Akhirnya antara Cancio
Lopes de Carvalho dan Pastor Hubert Thomas Hasulie, SVD bersepakat menggelar
pertemuan konsolidasi perdana.
Pertemuan pada tanggal 3 April 2001 merupakan tahap
awal proses dialog antar warga Timtim di pengungsian setelah mengalami
kebuntuan selama beberapa waktu. Pertemuan ini terselenggara berkat kerja sama
antara Pater Hubert Thomas, SVD dengan Komandan PPI Sektor A, Joanico Cesario
Belo, Komandan PPI Sektor C, Cancio Lopes de Carvalho dan Wakil Komandan
Mahidi, Nemecio Lopes de Carvalho. Pertemuan tahap awal ini berlangsung
tertutup. Pimpinan pertemuan adalah Joanico Cesario Belo yang didampingi oleh
Cancio Lopes de Carvalho. Dalam pertemuan itu peserta yang hadir selain 28
warga PPI dan juga Pater Hubert Thomas, SVD, (pencetus) Matheus Antonius Krivo
dan Corvandus Sakeng dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores (TRuK-F) sebagai
pihak yang memfasilitasi.
Peserta yang hadir merupakan wakil dari 6 kesatuan PPI
masing-masing 19 anggota Mahidi dari Ainaro, 2 anggota Mahadoni dari Manatuto,
1 anggota BMP dari Liquica, 2 anggota Ahi dari Ailiu, 3 anggota Laksaur dari
Suai, dan 1 anggota Saka dari Baucau. Masing-masing peserta yakni: Filomeno A. Brito, Horacio, Jose A. AMP,
Remijio Lopes de Carvalho, Celestino M,
Agustinho S., Jesito das Neves, Dominggus Alves, Hermenio Lopes, Mateus
Amaral, Orlando B. Das., Manuel
Gomes, Josefa Dos Reis, Aniseto Lopes,
Acacio Monteiro, Amaro Gomes, Benjamin Kiak Mane, Orlando Magno, Santino de A.,
Napoleao da Santos, Alexio Pareira,
Januario Lopes, Bernadino B. Lopes, Luis
A. Aquino C., Junior de A., Joanico Cesario Belo, Nemecio Lopes de Carvalho,
dan Cancio Lopes de Carvalho. Peserta utusan pengungsi wilayah Kupang tidak
sempat hadir karena terjadi mis-komunikasi.
Proses dan Agenda Pertemuan:
Agenda utama pertemuan yang disepakti oleh ketiga pimpinan PPI dan fasilitator yakni menghimpun aspirasi warga pengungsi seputar rekonsiliasi. Pertemuan yang sifatnya konsultatif ini berkenan mendengarkan bebagai pandangan dari masing-masing peserta untuk rekonsiliasi. Dari berbagai pembicaraan yang berkembang dalam rapat terdapat beberapa pemikiran diantaranya:
1. Rekonsiliasi
perlu untuk dilakukan karena penderitaan para pengungsi di kamp-kamp sudah
terlalu lama;
2. Rekonsiliasi
yang aktual yaitu terjadi antara Falintil dengan PPI, karena keduanya terlibat
dalam aksi kekerasan yang memungkinkan masyarakat Timtim menderita. Jika
Falintil dengan PPI telah berdamai otomatis warga Timtim bisa mewujudkan
perdamaian secara menyeluruh;
3. Menyadari
bahwa baik Falintil maupun PPI bertanggung jawab terhadap seluruh masalah
Timtim maka diharapkan kedua belah pihak bisa saling memaafkan dan melupakannya
guna menata kembali masa depan Timtim yang merdeka. Jika masing-masing pihak
saling mengungkit masa lalu yang pedih dan perih maka tidak akan mencapai titik
rekonsiliasi;
4. Oleh
karena Falintil dan PPI sama-sama bersalah dan sama-sama bertanggung jawab
terhadap penderitaan negeri Timor Leste maka adalah tidak adil jika proses
hukum dan pengadilan HAM hanya diberikan untuk
PPI. Jika mau fair maka kedua belah pihak harus dikenakan sanksi yang
sama;
5. Menyadari
bahwa rekonsiliasi penting dan mendesak untuk dilakukan maka jalan menuju ke
sana harus melewati tahap-tahap pembicaraan antara kedua belah pihak baik
Falintil maupun PPI;
6. Masalah
Timor Timur adalah masalah antara warga Timor Timur sendiri. Karena itu yang
harus menyelesaikan masalah Timor Timur ialah warga Timor Timur sendiri bukan
orang lain. Pihak lain entahkah itu PBB, Vatikan, Indonesia, ataupun lembaga
apa saja boleh terlibat tapi hanya sebagai pihak yang memperlancar;
7. Rekonsiliasi
yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah Timtim ialah rekonsiliasi bathin.
Artinya semua pihak harus menyadari kesalahan yang dibuatnya, dengan itu
tercapai sikap memaafkan satu sama lain lalu
kembali hidup berdamai untuk membangun Timor Timur secara bersama-sama;
8. Untuk
mewujudkan rekonsiliasi semua pihak yang berniat baik harus dikutsertakan dalam
seluruh proses. Kecuali memang yang tidak mau sama sekali. Ini bermaksud supaya
tidak ada orang yang merasa ditinggalkan dalam usaha bersama;
9. Dalam
upaya negosiasi untuk rekonsiliasi mesti disadari betul bahwa harus ada hal-hal
yang menjadi kesamaan pandangan. Lalu
jika ada perbedaan harus dicarikan jalan keluar yang mengakomodir semua pihak.
Selain itu setiap pihak yang terlibat dalam negosiasi harus mampu melepaskan
hal yang mengganjal dan rela taat kepada apa yang dikehendaki pihak lain. Artinya
pihak PPI maupun Falintil tidak harus selalu menuntut apa yang tidak mampu
dipenuhi oleh masing-masing pihak.
1. Menulis
2. Selanjutnya
jika proposal disetujui di pihak PPI akan dipilih secara demokratis
utusan-utusan dari berbagai kesatuan sesuai kesepakatan bersama;
3. Proses
ini secara intern bersifat terbuka sedangkan secara keluar bersifat tertutup
dan terbatas. Hal ini penting untuk menjaga supaya publik tidak harus
mengetahui dengan demikian mencegah penjegalan;
4. Setiap
peserta atau pihak pro rekonsiliasi harus membatasi diri dalam berkomentar
tentang pihak di Timor Leste supaya memelihara hubungan baik, dengan demikian
harapan kelompok PPI bisa disetujui pihak di Timor Leste.
Konsep pemikiran tentang rekonsiliasi:
1. Rekonsiliasi
adalah jalan/jembatan menuju pewrdamaian antara orang Timor Timur, karena
perdamaian itulah sesungguhnya penyelesaian masalah Timor Timur sendiri;
2. Rekonsiliasi
artinya mempertemukan dan mendialogkan orang-orang Timor Timur khususnya yang
punya masalah (PPI dan Falintil);
3. Kerusut atau akar
permasalahan dalam konflik sesungguhnya adalah PPI dan Falintil;
4. Oleh karena itu
dipandang sangat penting dan urgen harus ada satu dialog khusus dan terbatas
antara para komandan utama Falintil dan Komandan-komandan utama PPI.
4. Pertemuan Kedua Karmel, 2 Mei 2001
Peserta yang hadir dari Wilayah Kupang antara lain: Emiliano Gomes (Makikit), Frizal da Costa (Team Alfa), Benedicto Soares (Team Alfa), Duarte Fernandes (Team Alfa), Jose Fernandes (Team Alfa), Cornelio Ribeiru (Koordinator Kamp Lospalos), Jose de Conceicao (Team Alfa), Constancio Pareira (Team Alfa), Salustiano A. Lopes, Fransisco A. Gusmao, Paulo Freitas, Domingos G. Ximenes, Manuel, Aleks Calda, Thomas Guteres, Miguel dos Reis, Matius Lopes, Bartolomeus, Pascoal, Alesander Amaral, Nemecio Lopes de Carvalho (Mahidi), Cancio lopes de Carvalho (Mahidi), Joanico Cesario Belo (Saka), Augusto da Costa (tokoh Baucau), Antonio Soares. Peserta dari wilayah Belu tidak sempat hadir tepat waktu karena halangan teknis kendaraan. Pada intinya pertemuan ini mempersiapkan konsep-konsep pemikiran untuk pertemuan Denpasar.
Materi Pertemuan:
1. Pihak PPI dan
Warga pengungsi di Timor Barat memandang proses rekonsiliasi yang sedang
berlangsung mencapai sasaran untuk semua warga Timor Leste baik yang berada di
pengungsian maupun yang berada di Timor Leste sendiri.
2. PPI dan warga
pengungsi mengharapakan terwujudnya amnesti umum untuk warga Timor Leste. Hal
ini urgen karena semua warga Timor Leste telah terlibat sepanjang waktu dalam
kesalahan yang merugikan semua pihak.
3. PPI dan pengungsi
memandang jasa besar pihak pro kemerdekaan yang telah memungkinkan terbukanya
pintu kemerdekaan untuk warga Timor Leste. Namun kiranya buah kemerdekaan itu
dapat dinikmati oleh semua pihak termasuk warga pengungsi pro-integrasi.
4. PPI dan pengungsi
memandang bahwa proses rekonsiliasi dan persatuan kembali warga Timor Leste
hanya berjalan efektif jika semua pihak mampu menanggalkan atribut
kestatusannya masing-masing. Semua orang hanya boleh mengenakan status tunggal
yakni sebagai warga Timor Leste. Dengan demikian memungkinkan orang terlibat
dalam derajat yang sama, dengan kata lain berdiri sama tinggi, duduk sama
rendah.
5. Pertemuan Denpasar, 5-6 Mei 2001 di Biara Soverdi Bali Wacana, Denpasar-Bali
Pertemuan Denpasar
ini difasilitasi oleh Uppsala University bekerja sama dengan Pater Hubert Thomas Hasulie, SVD dan Mikahel
Grant dari TRuK-F. Peserta pertemuan antara lain: Samuel Mendonza, Aquilino Fraga Guterres,
Julio Sarmento, Guilhermina Saldanha, Daniel Sarmento Soares, David Dias
Ximenes, Raul Domingos, Manuel Pinto, Elisario Pereira, Jovencio Martins,
Fransisco Soares, Mariano Sabino Lopes, Paulo Assis Belo, Fransisco da Costa
Guterres, Cosme Cabral, Francisco Lopes de Carvalho, Joanico Cesario Belo,
Cancio Lopes de Carvalho, Nemecio Lopes de Carvalho, Jesito das Neves, Aniceto
Neves de Carvalho, Domingos Guteres, Augusto da Costa, Aquino Caldas, Jose
Afat, Alfonso Nogueira Nahak, Serafin Pires, Zakareas Alves, Domingos Soares,
Filomeno A. Brito, Edmundo da Silva, Martinho Fernandez, Mateus Maia.
§ Tanggal 5 Mei 2001. Pada hari pertama pertemuan
rekonsiliasi, utusan masyarakat Timor Timur yang berada di tempat pengungsian
menyampaikan proposal rekonsiliasi politik. Dalam proposal tersebut tercantum
pula beberapa usulan dari pihak pengungsi yang dapat dijadikan agenda diskusi
bersama. Usulan-usulan tersebut antara lain:
1. Agar meninggalkan
kesan dan gengsi sebagai pemenang mutlak;
2. Agar melibatkan
seluruh masyarakat pro-otonomi dalam semua sistem kehidupan di Timor Leste;
3. Agar memulihkan
atau mengembalikan hak milik masyarakat pro-otonomi yang saat ini telah
dikuasai oleh badan-badan pemerintah, swasta dan individu pro-kemerdekaan;
4. Agar memberikan
amnesty umum kepada semua orang, baik yang pro-otonomi maupun pro-kemerdekaan
yang terbukti telah melakukan tindakan pelanggaran hukum dan HAM baik yang
bersifat langsung maupun tidak langsung dalam rangka usaha
mewujudkan/mempertahankan pilihan/keyakinan politiknya semenjak tahun 1975.
Dalam pemberian amnesti yang dimaksud harusharus dituangkan dalam konstitusi
negara Timor Leste sebagai jaminan nasional yang mengikat, dihormati dan
dijalankan secara konsekuen oleh seluruh komponen bangsa Timor Leste. Amnesti
itu harus diperkuat dengan sebuah resolusi PBB;
5. Agar tidak
mengharuskan semua pengungsi pro-otonomi di Indonesia untuk kembali ke Timor Leste.
Sebab penentuan status kewarganegaraan seseorang merupakan hak asasi orang yang
bersangkutan;
6. Agar mencegah
tindakan main hakim sendiri terhadap masyarakat atau individu pro-otonomi oleh
masyarakat atau orang-orang pro kemerdekaan;
7. Agar semua
kekuatan politik, organisasi masyarakat, pemuda mahasiswa dan pelajar
diharuskan menyatakan mendukung secara resmi rekonsiliasi total dan seimbang
antara msyarakat prokem dan pro-otonomi;
8. Agar masa depan
Timor Leste yang bebas dan merdeka dapat ditentukan sesudah rekonsiliasi
terlaksana.
1. Perlunya
membentuk sebuah team kerja pemulangan para pengungsi dari NTT-Indonesia ke
Timor Leste;
2. Perlu
dilakukannya rekonsiliasi pada tingkat Distrikal;
3. Kedua belah pihak
perlu menyusun “Program go to visit”;
4. Sosialisasi hasil
diskusi pertemuan ini di masing-masing wilayah kerja;
5. Penetapan jadwal
pelaksanaan kerja.
Tanggal 06 Mei 2001, pada hari kedua dari jadwal pertemuan yang telah diagendakan, masing-masing delegasi/utusan menyampaikan tanggapan balik terhadap usulan yang telah disampaikan sebagai bahan diskusi pada hari pertama. Secara keseluruhan hasil tanggapan tersebut dapat dilihat di dalam lampiran tentang tanggapan masing-masing delegasi terhadap usulan yang disampaikan. Selain terjadi pertemuan atau diskusi bersama juga berlangsung pertemuan tertutup antara individu. Pertemuan itu sendiri terjadi pada malam hari di sela-sela pertemuan bersama.
Ada beberapa pokok pikiran yang ditarik
menjadi kesepakatan bersama antara kedua kubu:
1. Menerima
hasil jajak pendapat/referendum;
2. Rekonsiliasi
tingkat distrik merupakan pilihan kebijakan yang lebih strategis;
3. Memberikan
kebebasan dan hak bagi setiap orang Timor Leste untuk menentukan status
kewarganegaraannya;
4. Berusaha
mencari penyelesaian hak kepemilikan setiap warga Timor Leste.
Pertemuan
antar warga Viqueque difasilitasi oleh Satgas PMP (Satuan Tugas Penyelesaian
Masalah Pengungsi), Satgas Pamtas (Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan)
NTT-Timtim, LSM JRS (Jesuit Refuggees Service)
Peserta yang hadir dari Timor Barat antara lain utusan masyarakat Lakluta dan Viqueque yakni Filipe Parade, Joao Careles, Julio Ribeiru, Julio Amaral, dan Faustino Amaral. Sedangkan peserta dari Timor Leste yakni Filomeno da Cruz, Markus Amaral, Pascoal Gomes Martins, Nelson da Cruz.
Pertemuan tersebut menyajikan
beberapa point kesepakatan:
1. Menyadari
kesalahan masa lalu;
2. Mempunyai
komitmen untuk saling memaafkan;
3. Bersedia
melupakan perselisihan masa silam yang pernah terjadi di kampung halaman;
4. Memberi
jaminan keamanan kepada para pengungsi yang berniat kembali ke daerah asalnya.
7. Pertemuan Baucau, 25-27 Mei 2001
Pertemuan
di Baucau difasilitasi oleh
Ada
dua agenda yang menjadi pokok pembicaraan yakni:
1. Masalah seputar
pengungsi Timtim untuk ikut membangun Timor Leste menuju masa depan yang lebih
baik;
2. Masalah
pelanggaran HAM di Timtim sejak tahun 1975 hingga tahun 1999.
8. Pertemuan Masyarakat Ainaro, 7 Juli 2001 di Salele-Kovalima
Pertemuan ini difasilitasi oleh TRuK-F dan UNTAET yang dipimpin Mr. Parameswaran. Peserta pertemuan ialah utusan pengungsi asal Ainaro dan tokoh-tokoh penting dari Ainaro sesuai permintaan kalangan pengungsi. Peserta pertemuan dari kalangan pengungsi berjumlah 28 orang di bawah pimpinan Cancio Lopes de Carvalho (Mantan Komandan Mahidi) dan Raja Cassa, Dom Mateus Lopes de Carvalho, Fransisco Lopes de Carvalho serta Nemecio Lopes de Carvalho serta Pater Hubert Thomas Hasulie, SVD serta Romo Pastor Paroki Betun-Malaka.
Hasil Pertemuan:
Pertama, kedua belah
pihak menyadari bahwa konflik yang terjadi telah menimbulkan suatu tragedi yang
memilukan. Hal itu merupakan sejarah kelam bagi bangsa Timor Leste. Menyadari
hal tersebut maka perlu adanya kesadaran bersama untuk melupakan dan tidak
mengulanginya kembali di masa-masa yang akan datang. Namun kedua belah pihak
juga menyadari bahwa meskipun mereka saling memaafkan tapi itu tidak berarti
harus menghilangkan aspek hukum. Sebagai sebuah negara baru penegakan hukum
harus sungguh-sungguh menjadi landasan pijak bagi semua orang. Pihak- pihak
yang terlibat dalam pelanggaran HAM, proses hukum harus dia lalui guna
pemulihan diri. Kedua, ada kesepakatan bersama untuk memulangkan
pengungsi. Pemulangan tersebut diharapkan dapat berlangsung sebelum diadakan
Pemilu di Timor Leste sehingga semua orang Timtim dapat mempergunakan hak
politiknya sebagai warga negara baru itu dalam Pemilu. Ketiga,
berkaitan dengan pemulangan pengungsi tersebut pihak warga Timor Leste yang
terwakil dalam pertemuan Salele berjanji untuk memberikan jaminan keamanan bagi
warga pengungsi yang akan kembali ke Timor Leste. Jaminan keamanan ini mutlak
diperlukan karena salah satu alasan yang cukup mendasar sebagaimana berkembang
di tengah pengungsi adalah masalah jaminan keamanan ketika mereka berada di
Timor Leste. Keempat, bagi warga masyarakat yang berstatus TNI,
Polri atau pun PNS masih diberi kesempatan untuk mengabdi di
9. Pertemuan Masyarakat Kovalima, 7 Agustus 2001
di Salele-Kovalima
Pertemuan ini difasilitasi oleh TRuK-F dan
UNTAET yang dipimpin Mr. Parameswaran serta Forum Rekonsiliasi Masyarkat
Kovalima (FORMAK). Para peserta pertemuan dari Timor Barat berjumlah 67 orang
dengan pimpinan rombongan yakni Helio Caitano Moniz, Catano Mendonca de Araujo,
Filipe de Neri, Mateus Amaral, Fransisco Manek, Afonso Nugueira Nahak, Alberto
Neri dan sejumlah tokoh Kovalima lainya. Sedangkan dari Timor Leste berjumlah
213 orang yang dipimpin langsung oleh Xanana Gusmao.
Utusan dari Timor Barat (umumnya dari Betun) sehari sebelumnya Senin, 6 Agustus 2001 melakukan pertemuan persiapan dan pemantapan di kediaman bapak Agustinho da Silva (Mantan Kades Lalawa) yang terletak di kampung Solo-Aimale, Betun. Pada pertemuan persiapan itu peserta menyepakati tiga point antara lain: pertama, seluruh masyarakat Kovalima menyadari dan menyesali semua tragedi kemanusiaan dan melihatnya sebagai sejarah masa kelam. Kedua, menyesali dan mengutuk semua bentuk diskriminasi dan anarkisme yang telah, sedang dan akan terjadi di Timor Leste. Ketiga, meminta seluruh lapisan masyarakat untuk menghormati hak-hak semua warga masyarakat yang kini berada di Timor Leste. Ketiga pokok pikiran itu sekaligus juga menjadi kesepakatan bersama antara kedua belah pihak. Peserta dari Suai-Kovalima hanya berharap pengungsi yang masih berada di tempat pengungsian dapat segera kembali ke kampung halamannya masing-masing untuk memulai hidup bersama lagi seperti dahulu.
10. Pertemuan Masyarakat Ainaro, Senin 8 Oktober
2001 di Salele-Kovalima
Peserta
pertemuan antara lain masyarakat pengungsi asal Ainaro, subdistrik
Ainaro, Maubesi, Hatuudu dan Hatubaliko yang berjumlah 166 orang dan dipimpin
oleh Apolinario da Silva (anggota Polisi), Belarmino F. Neves dan pendamping
rohani, Padre Mateus do Rosario da Crus. Sedangkan dari Ainaro berjumlah kurang
lebih 300 orang. Pertemuan itu diawali dengan penyerahan empat patung Cristo
Regi oleh para pengungsi kepada para wakil dari keempat subdistrik yang hadir
dalam pertemuan rekonsiliasi tersebut. Patung dijadikan sebagai lambang
rekonsiliasi dan perdamaian semesta tanpa syarat. Seluruh pembicaraan dalam temu rekonsiliasi
tersebut mengarah kepada satu kesepakatan bersama yakni menyangkut pemulangan
pengungsi ke kampung halamannya.
1. Masalah jaminan
keamanan
2. Masalah
kepemilikan
3. Masalah lapangan
kerja
11. Pertemuan Para Polisi Resort Belu asal Timtim dengan Mr. Xanana Gusmao,18 Oktober 2001di Salele-Kovalima
Jumlah anggota polisi asal Timtim yang mengikuti pertemuan sebanyak 224 orang yang dipimpin langsung oleh Kapolres Belu, AKB Nender Yani. Tujuan pertemuan ialah memberi suasana persahabatan dan perdamaian sekaligus motivasi bagi para Polisi sehingga dapat menentukan pilihan untuk pulang ke Timor Leste atau tetap tinggal di Indonesia. Dalam pertemuan itu Mr. Xanana Gusmao berjanji untuk menerima saudara-saudaranya yang akan kembali ke Timor Leste dengan tangan terbuka. Mr Xanana Gusmao juga mengharapkan agar warga Timtim yang masih berada di tempat pengungsian untuk kembali. Namun Xanana Gusmao secar jujur tidak menjamin lapangan pekerjaan bagi mereka yang memilih untuk kembali. Kalau ada yang tidak kembali karena alasan pekerjaan maka sangat diharapkan agar mereka yang telah mendapat pekerjaan dapat membantu kebutuhan finansial untuk saudara-saudaranya yang berada di Timor Leste.
12. Pertemuan
Masyarakat Ermera, 24 Oktober 2001 di Motaain
Peserta
yang menghadiri pertemuan berjumlah 90 orang. Dari Ermera rombongan dipimpin
oleh Administrator Distrik Ermera, Victor dos
Dalam
pertemuan persaudaraan itu warga pengungsi mengajukan beberapa usulan
1. Kiranya semua
warga masyarakat Ermera berani melupakan masa lalu;
2. Diperlukan
penegakkan supremasi hukum di seluruh wilayah Timor Leste;
3. Adanya jaminan
keamanan real bagi pengungsi yang memilih kembali ke Timor Leste;
4. Penghormatan atas
barang milik para pengungsi yang telah ditinggalkan pasca jajak pendapat
September 1999;
5. Semua tokoh
masyarakat harus melakukan sumpah adat demi tegaknya perdamaian.
1. Mengharapkan agar
masyarakat Ermera yang berada di tempat pengungsian untuk kembali ke kampung
halaman dan membangun tanah kelahiran menuju hari esok yang lebih baik;
2. Masyarakat
Distrik Ermera sangat bergembira karena pada hari itu rakyat Ermera dapat
bertemu dalam suasana damai dan sangat mengharukan. Bagi mereka sejak itu tidak
ada lagi masyarakat pro-integrasi atau prokem tetapi yang ada hanyalah
masyarakat Ermera yang baru;
3. Setiap pengungsi
yang terbukti melanggar HAM harus dihadapkan ke pengadilan untuk mendapatkan
hukum yang setimpal;
4. Setiap pengungsi
yang kembali ke Ermera selain harus menerima hasil jajak pendapat rakyat Timtim
30 Agustus 1999 juga harus mengakui kemerdekaan Timor Leste.
13. Pertemuan Masyarakat Baucau Sub Distrik Kilikai, 1-2
November 2001 di Noelbaki Kupang
Pertemuan ini berlangsung dalam serangkain
kegiatan kunjungan go and see visit warga Kilikai kepada
saudara-saudaranya di pengungsian yang difasilitasi oleh UNHCR. Utusan dari
Kilikai (Timor Leste) yang datang yakni :
1.
Leonel Guterres (Mantan
Sekretaris CNRT Sub Distrik Kalikai);
2.
Jose Soares (Mantan
Wakil Sekretaris CNRT Sub Distrik Kalikai);
3.
Alberto M Bello (mantan
anggota Falintil);
4.
Sebantian do
Santos (Tokoh Pemuda Kalikai);
5.
Jaime do Santos (Mantan
Anggota TNI);
6.
Martino Belo (Mantan
Anggota TNI).
Sedangkan dari Timor Barat yang berkenan terlibat dalam pertemuan yakni Egidio Sarmento (Wakil Komandan Saka), Calestino Moreira, Migel dos Reis, Alexander Zeronimo.
1. Kedua belah pihak
menyadari bahwa perang di Timtim sudah selesai dan semua rakyat Timor Leste
harus bisa bersatu untuk membangun negara Timor Leste sebagai milik bersama
orang Timtim. Mereka menyadari bahwa situasi mereka saat ini hanya merupakan
korban perang antar elit sejak tahun 1974-1999;
2. Menjamin keamanan
bagi seluruh masyarakat Timtim yang ingin kembali ke Timor Leste.
14. Pertemuan Masyarakat Manatutu dan Aileu, 5 Nopember 2001 di Batugade
Pertemuan antar warga Manatutu dan Ailiu berlangsung dalam waktu yang sama pada satu kawasan tapi tenda berbeda. Pertemuan ini difasilitasi TRuK-F dan UNTAET yang dipimpin Mr. Parameswaran. Peserta pertemuan dari pengungsi Manatutu berjumlah 63 orang yang dipimpin oleh Vidal D.D. Sarmento (mantan Bupati Manatutu terakhir), Domingos Soares (mantan camat Laklubar), Juliana Soares (mantan anggota DPRD II) dan Salustiano Sousa (Ketua UNTAS Manatutu). Sedangkan pengungsi dari Ailiu berjumlah 135 orang yang dipimpin Thomas Mendonca, Horacio dan Belarmino F. Neves. Dari Timor Leste rombongan dua distrik dipimpin langsung oleh Xanana Gusmao yang didampingi David Dias Ximenes dan Ibu Maria Paisao (Bupati Ailiu). Pertemuan antar warga Ailiu diawali dengan penyerahan empat Patung Bunda Maria dari warga Aileu di pengungsian kepada warga Aileu di Timor Leste. Serah terima patung dimulai dengan doa yang dipimpin Romo Matheus, putera asli Aileu.
1. Kedua belah pihak
menyadari bahwa situasi permusuhan dan pertentangan politik di antara kedua
belah pihak harus segera diakhiri;
2. Untuk pengungsi
yang ingin kembali ke Timor Leste akan diterima dengan senang hati karena Timor
Leste juga merupakan tempat kelahiran mereka;
3. Disepakati untuk
mengadakan temu rekonsilasi tahap kedua yang akan dilaksanakan pada tanggal 16
November 2001. Pertemuan tersebut akan dihadiri oleh masyarakat di tiga
Subdistrik antara lain: Manatuto Kota, Laclo dan Lalea. Sedangkan tiga
subdistrik lainnya, Soibada, Natarbora dan Lacluba, akan mengadakan pertemuan
pada tanggal 24 November.
1. Masyarakat Aileu
diperbolehkan mengadakan Go and See Visit ke Aileu;
2. Diharapkan agar setelah pertemuan tersebut masyarakat
Aileu khususnya ibu-ibu dan anak-anak kembali ke kampung halamannya
masing-masing.
15. Pertemuan Masyarakat Sub Distrik Manatuto, Laleia dan laclo, 16 November 2001 di Batugede
Kegiatan tersebut difasilitasi oleh RFK
dan UNHCR bersama UNTAET. Pertemuan dimaksud merupakan tindak lanjut
kesepakatan pertemuan terdahulu 5/11/2001
yakni supaya digelar pertemuan tingkat sub distrik. Dalam pertemuan ini peserta
dari pengungsi berjumlah 210 orang dan
dipimpin oleh beberapa tokoh Manatuto :
1. Vidal Sarmento
2. Juliana Soares
3. Pedro Sousa
4. Salustiano Sousa
Sedangkan peserta dari Timor Leste berjumlah 30 orang yang dipimpin Manuel Constantino C. de Piedade. Bupati Distrik Manatuto, Mateus Ximenes Belo, Candido de Carvalho Soares, dan Pastor Domingos. Hadir pula utusan Xanana yakni David Ximenes.Dalam pertemuan ini masing-masing pihak menyampaikan perasaan hatinya setelah sekian lama mereka berpisah. Pihak masyarakat Manatutu sangat mengharapkan kembalinya sama saudara mereka yang masih berada di barak-barak pengungsian. Sedangkan pihak pengungsi meminta jaminan keamanan bagi saudara-saudara mereka yang akan kembali ke Timor Leste. Selain itu para pengungsi meminta agar tanah dan hak milik warga pengungsi yang telah diambil harus dikembalikan. Sehingga masyarakat yang kembali dapat menikmati harta miliknya yang telah ditinggalkan ketika mengungsi ke Timor Barat.
Beberapa
reaksi berkaitan dengan pertemuan:
Pertama,
Kedua, untuk pertemuan tanggal 24 November 2001 diharapkan agar masing-masing pihak harus sudah membuat beberapa kesepakatan tentatif untuk dibawakan dalam pertemuan tersebut. Dengan demikian pertemuan tanggal 24 November 2001 dapat menghasilkan satu kesepakatan bersama antara kedua belah pihak. Hasil kesepakatan tersebut nantinya akan disosialisasikan di wilayah masing-masing.
16.Pertemuan Koordinasi Utusan Xanana Gusmao dengan Utusan Pengungsi Lospalos, Viqueque dan Baucau, 19-20 November 2001 di Hotel Padma Denpasar Bali
Motivasi yang menggerakan pertemuan ini yakni ingin melibatkan pengungsi dari Baucau, Viqueque dan Lospalos-Lautem dalam proses rekonsiliasi. Tampaknya ketiga wilayah ini yang mengungsi di Kupang sama sekali belum berniat melakukan dialog rekonsiliasi. Oleh karena itu diupayakan untuk melibatkan mereka dalam proses yang marak berlangsung seperti di wilayah Belu. Pertemuan ini terselenggara atas kerjasama Uppsala University dari Swedia (dihadiri pula Mikhael Eriksson dan Kjell-Ake Nordquist) dengan TRuK-F. Peserta pertemuan terdiri dari utusan Timor Barat dan Timor Leste dengan komposisi sebagai berikut:
1. Timor Barat terdiri
dari: dua utusan Masyarakat Baucau yakni
Joanico C. Belo dan Agusto da Costa. Tiga utusan dari Lospalos yakni Constantio
Pareira (tokoh Tutuala, anggota Team Alfa), Frizal da Costa (anggota Team Alfa)
dan Cornelio Ribeiro. Sedangkan dari Viqueque cuma satu orang yakni Emiliano.
Emilio baru tiba di arena pertemuan tanggal 20 Nopember 2001 sesaat setelah
pertemuan ditutup.
2. Dari Timor Leste,
peserta yang hadir yakni David Dias Ximenes, Paul Asis (Baucau), Fransisco
Gutteres, Fransisco Berlicu, Ibu Guilhermina Saldanha, Octavio (Lospalos),
Feliciano da Costa, dan Miguel Caldas Pinto (Viqueque)
1. Perlu dilakukan
penanganan khusus terhadap pengungsi di Sulawesi Selatan. Koordinasi selanjutnya
dengan Joanico Cesario Belo;
2. Perlu
berkoordinasi kembali dengan masyarakat Baucau di Timor Barat untuk bisa
mengadakan suatu pertemuan di perbatasan;
3. Bagi Masyarakat Lospalos
perlu dilakukan pertemuan secepatnya di perbatasan bila perlu go and see
visit karena menurut rencana masyarakat Lospalos akan segera pulang sebelum
Natal 2001.
17. Pertemuan Rekonsiliasi antar warga Balibo di Batugade 12 Maret 2002
Pertemuan
antar warga Balibo-Bobonaro difasilitasi oleh Satlak PB Kabupaten Belu, UNHCR
dan JRS Atambua. Warga Balibo yang hadir sebanyak 280 orang dari Desa Carabau,
Maliubu, Catabot dan Tebabui.
18. Pertemuan Rekonsiliasi Adat di Daerah Perbatasan Antara Napan dan TTU 31 Maret 2002 dan di Daerah Perbatasan TTU-Pasabe di Haumeni Ana 7 April 2002
Pada kedua pertemuan itu peserta yyang hadir adalah warga Oekusi dari TL dan warga Oekusi di pengungsian. Di Haumeniana peserta dari Oekusi mencapai 700 orang sedangkan dari kamp pengungsi TB mencapai 500 orang. Dalam pertemuan rekonsiliasi adat tersebut dilakukan pemotongan ayam oleh tokoh adat. Selanjutnya hati ayam diambil dan diteliti guna mendapatkan informasi tentang ketulusan kedua kelompok yang berdamai. Pertemuan adat di dua tempat di TTU itu diberi nama Upacara adat Buka Pintu.
19. Pertemuan Team Rekonsiliasi Timor Leste dengan
Warga Pengungsi dari Ambeno di Kefa 31 Mei 2002
Delegasi dari
Timor Timur yang datang yakniPejabat Deplu, Caetano Guterres, Jaksa Agung
Longguinhos Monteiro, Pejabat Urusan Kriminal Serius, Isabel Guteres. Delegasi
Timor Leste didampingi Robert Ashe dan Afonso Munianeza dari UNHCR, Denis Mc
Namara dan Natali David dari UNICEF, dan Anika dari IOM
20. Pertemuan Rekonsiliasi antara warga pengungsi Bobonaro dengan warga Bobonaro di Batugade 5 Juni 2002
Delegasi pengungsi dari Timor Barat dipimpin oleh Joao Tavares. Pertemuan tersebut difasilitasi oleh UNHCR.
21.
Pertemuan Rekonsiliasi antara 16 tokoh RDTL dengan 14 tokoh pengungsi di
Atambua 14 Juni 2002
Pertemuan berlangsung di Makodim 1605/Belu dipandu oleh Koordinator Satlak PB Belu, Letkol (Kav) Tjuk Agus Minahasa. Peserta dari RDTL antara lain : Longuinhos Monteiro (Jaksa Agung), Antonio Cardoso dan Jacob Fernandes, keduanya dari Partai Fretelin, Pedro Gomes dari Partai ASDT, Marciano da Silva dari Partai Demokrat, Marciano da Silva (staf Deplu), Antonio Pires (Deputi Mentri Pendidikan RDTL), Julio da Costa Hornai (Deputi Komisaris Kepolisian RDTL), Amandio Benefides (staf Agung), Sergio de Jesus Hornay (Kantor Pengacara Negara RDTL), Aniceto Guteres dan Isabel Guteres dari Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi, Robert Ashe dan Manuel Carceres da Costa, keduanya dari UNHCR serta Team Hudne dari UNMSET. Sedangkan peserta dari Timor Barat dipimpin oleh Joao Tavares yang didampingi tokoh adat dan pengungsi dari Bobonaro, Dili, Ermera, Manatuto, Suai, Baucau dan Ailiu. Materi yang dibicarakan dalam pertemuan ialah keamanan, pajak, penempatan sementara warga pengungsi (kantongisasi) dan diskriminasi warga negara di RDTL. Di penghujung pertemuan masing-masing delegasi menandatangani akta pertemuan rekonsiliasi.
22.
Pertemuan Khusus untuk Distrik Baucau 3-5 Juli 2002 di Rumah Retret Nazaret
Kuta
Peserta pertemuan dari Timor Barat yakni Agustino Boavida (Sera Malik) yang turut didampingi oleh istrinya, Ijidio Sarmento dan Agusto da Costa. Sementara dari Timor Timur peserta yang hadir yakni David Ximenes, Paul Asis, Ibu Guilhermina Saldanha dan Feliciano. Pertemuan ini membahas penyelesaian masalah masyarakat Baucau yang masih di pengungsian. Fasilitasi pertemuan dimaksud ialah TRuF dan Uppsala University Swedia. Moderator pertemuan ialah Pastor Hubert Thomas Hassulie, SVD.
23.
Pertemuan Rekonsiliasi antara pejabat RDTL dengan Tokoh pengungsi 6 Juli 2002
di Batugade
Pejabat
RDTL diwakilkan oleh Jaksa Agung Longinhos Monteiro. Sedangkan dari pihak
pengungsi tdiwakilkan oleh beberapa tokoh yang dipimpin oleh Joao Tavares dari
Atambua. Pertemuan ini merupakan kelanjutan pertemuan terdahulu (
24.
Pertemuan Khusus antara utusan Khusus Presiden Xanana dengan Tokoh pengungsi
10-13 Agustus 2002 di Padma Hotel Bali
Peserta pertemuan yang hadir dari Timor Barat ialah Joao da Silva Tavares, Agustinho Boavida (Sera Malik) dan Fransisico Lopes de Carvalho. Dari Timor Timur masing-masing David Dias Ximenes, Paul Asis, Feliciano dan Ibu Guilhermina Saldanha. Pertemuan ini membahas kemungkinan menekan pihak Timor Leste untuk mengambil sikap lunak terhadap permintaan pihak Joao Tavares Cs. Fasilitator pertemuan ialah TRuF dan Uppsala University Swedia. Moderator pertemuan ialah Pastor Hubert Thomas Hassulie, SVD.
B. KEGIATAN GO AND SEE VISIT
Sejumlah
kegiatan go and see visit yang menandai proses rekonsiliasi antara lain:
1. Kunjungan UNTAS
ke Dili pada tanggal 28-29 Maret 2001. Peserta kunjungan antara lain. Filomeno
J. Hornay, Filomeno Lesbaldo, Clementino Castelo Branco, Joao Bosco dan Felix Berto;
2. Kunjungan Fransisco
Lopes de Carvalho ke Dili, Baucau dan Ainaro yang ditemani Mikhael Grant (TRuF)
pada tanggal 21-27 Mei 2001. Melalui kunjungan itu warga Ainaro menyatkan
sepakat untuk menerima pengugnsi yang pulang;
3. Kunjungan sembilan
anggota Polisi asal Timtim yang dipimpin Apolonaro da Silva. Kunjungan ini
difasilitasi Polda NTT dan UNTAET/UNPKF;
4. Kunjungan Aquino
Caldas dan Agapitu Pires ke Manatutu pada tanggal 15-25 Agustus 2001 yang
difasilitasi RFK dan UNTAET. Oleh kunjungan itu masyarkat Manatutu berniat
bertemu dengan saudara-saudaranya di pengungsian;
5. Kunjungan Helio
Caitano Moniz bersama isteri ke Dili dan Suai tanggal 20-29 Agustus 2001.
Kunjungan ini untuk mengeratkan hubungan dengan warga di Suai guna menerima
kembali pengungsi yang pulang;
6. Kunjungan Mantan
Kepala Desa Cassa Hermenio Lopes de Carvalho ke Cassa-Ainaro tanggal 17-20
Oktober 2001.Tujuan kunjungan melihat kenyataan penerimaan warga Cassa bagi
pengungsi yang kembali;
7. Kunjungan utusan
masyarakat Kilikai Baucau yang difasilitasi UNHCR ke Kupang (Naibonat) tanggal 1-2
Nopember 2001;
8. Kunjungan Bupati
Baucau Marito Reis ke Kupang (Naibonat) serta melangsungkan sejumlah pertemuan tanggal
2-4 Desember 2001. Kunjungan ini difasilitasi UNHCR;
9. Kunjungan 32
utusan Timor Leste ke Kupang yang difasilitasi UNHCR dan TNI 19-22 Desember
2001;
10. Kunjungan balasan
dari pengungsi Manatutu ke Manatutu, tanggal 23-29 Desember 2001. Kunjungan ini
difasilitasi TNI, UNHCR dan UNTAET;
11. Kunjungan wakil
administrator Distrik Ermera Gabriel Ximenes bersama Fernando Jose Ximenes dan
Armando de Jesus Salsinha ke Atambua tanggal 29 Desember 2001;
12. Kunjungan 13
utusan warga Baucau ke kamp pengungsi di Timor Barat tanggal 23-29 Januari 2002
yang dipimpin oleh Manuel da Costa Pinto. Kunjungan ini difasilitiasi UNHCR dan
TNI;
13. Kunjungan utusan
pengungsi Baucau ke Baucau yang dipimpin Agusto da Costa bulan Pebruari 2002.
Kunjungan ini difasilitasi oleh TNI dan UNHCR;
14. Kunjungan 5
pejabat sub Distrik Ermera ke Belu menemui warga pengungsi asal Ermera tanggal 7-9
Pebruari 2002. Kelima pejabat itu yakni dari Sub Distrik Atsabe, Graciano
Hornay, sub Distrik Latefoho, Joao Feixberto, sub Distrik Hatolia, Bonifacio
dos Reis, sub Distrik Ermera, Simeao F.P Babo, sub Distrik Railako, Domingos da
Costa;
15. Kunjungan 16
utusun sub Distrik Laklubar Manatutu ke Belu tanggal 8 –11 Pebruari 2002.
Rombongan dipimpin oleh Asisten sub Distrik Laklubar, Ildefonso Pareira. Turut
dalam rombongan yakni Kepala Desa Orlalan, Domingos da Silva, mantan Camat
Fatukmakerek, Jose da Costa;
16. Kunjungan tokoh
masyarakat Desa Cowa Balibo ke Belu tanggal 3-7 Maret 2002. Rombongan dipimpin
oleh Joao Martins Ruas Hornai;
17. Kunjungan 51
anggota Mahidi asal Jumalai-Kovalima
dipimpi Domingus Alves ke Jumalai Timtim tanggal 18-20 Maret 2002.
Kunjungan menjalin rekonsiliasi ini terselenggara berkat dukungan Pastor Paroki
Jumalai Romo Agusto dan UNHCR Dili;
18. Kunjungan
delegasi asal Bougia Baucau ke
Naibonat dan Kupang tanggal 8-10 April 2002;
19. Kunjungan utusan
masyarakat Liquisa ke Belu tanggal 19-21
April 2002;
20. Kunjungan balasan
25 utusan pengungsi asal Liquica ke Liquica, tanggal 1-4 Mei 2002. Kunjungan
tersebut difasilitasi oleh Satlak PB Kabupaten Belu bekerja sama dengan UNHCR
Dili;
21. Kunjungan 18
utusan pengungsi Viqueque ke Uatolari, Osu, Viqueque Kota dan Lakluta tanggal 9-13
Mei 2002. Kegiatan ini difasilitasi khusus oleh TRuF, UNHCR dan Team
Rekonsiliasi Xanana Gusmao;
22. Kunjungan 12
tokoh masyarakat dari Distrik Ailiu ke kamp pengungsi Sukabitetek dan Lebur tanggal
8-16 Mei 2002. Tokoh masyarakat Ailiu yang mengunjungi kamp pengungsi merupakan
persatuan Daireitus Humanos dan Tlohine. Delegasi Ailiu ini dipimpin oleh
Moses. Sejumlah tokoh yang datang yakni Jose Marshal, Filipe, Carlito, Carlos,
Fransisco, serta beberapa anggot alainnya termasuk 2 perempuan. Di Sukabitetek
dan Lebur delegasi Ailiu diterima dan difasilitasi oleh Horasio; mantan
Komandan Pejuang Sipil Integrasi AHI Ailiu;
23. Kunjungan 14
tokoh masyarakat dari Vilage Holsa sub Distrik Maliana ke kamp pengungsian
Haliwen, Fatubenao dan Haekesak – Belu tanggal 28-30 Mei 2002.Kunjungan
tersebut difasilitasi oleh Satlak PB Kabupaten Belu bekerja sama dengan UNHCR
Dili;
24. Kunjungan 18
tokoh masyarakat dari Vilage Marobo sub
Distrik Bobonaro ke kamp pengungsian Haekesak-Raihat Belu tanggal 31 Mei sampai
1 Juni 2002.Kunjungan tersebut difasilitasi oleh Satlak PB Kabupaten Belu
bekerja sama dengan UNHCR Dili;
25. Kunjungan 6 tokoh
masyarakat sub Distrik Likidoe Ailiu ke kamp pengungsian Sukabitetek dan
Lebur-Belu tanggal 4-6 Juni 2002. Ketua rombongan dari Likidoe dipimpin oleh
Kepala Sub Distrik yakni Luis. Kunjungan tersebut difasilitasi oleh Satlak PB
Kabupaten Belu bekerja sama dengan UNHCR Dili;
26. Kunjungan 12
tokoh masyarakat Baucau yang dipimpin Bupati Baucau Marito Reis dan Pastor
Mario Bello, Pr dan didampingi Paul Asis dan Feliciano da Costa ke kamp
pengungsi Baucau di Naibonat pada tanggal 12 Juni 2002. Delegasi dari Baucau
yang lain yakni L Foho Rai Bot (ex Komandan Falintil Sektor Timur), Padre Rui
Gomes, Alin Laek (ex Komandan Distrik Falintil), Manuel Pinto, Fransisco
Sarmento, Alfredo Belo, Elvino Gonzalves dan ibu Maria Fatima Coreia Belo.
Kunjungan ini difasilitasi TRuF berkoordinasi dengan UNHCR dan Leader-leader
pengungsi Baucau;
27. Kunjungan 24
utusan masyarakat Distrik Ainaro ke kamp pengungsian Belu Selatan pada tanggal 19-21
Juni 2002. Peserta go and see visit antara lain: Joao de Cortereal de Araujo
(bupati), Antonio Magno (Camat Ainaro Kota), Pe. Dionisio Bere (Pastor Paroki
Ainaro), Susana Baptista Barros, Jorge de Araujo, Clementino dos Reis, Romana
Pareira, Sr. Elsa Fernandes, Lino Calisto da Silva, Narcisio Pacheco Magno
(Kepala Desa Ainaro Kota), Balbino de Araujo (Kepala Desa Maulo), Alarico
Fereira Verdial (Kepala Desa Surkraik), Jose Magno Pareira (Kepala Desa Cassa),
Baltazar da Silva, Cancio da Costa (Camat Hato Udo), Joanico da Costa, Elias de
Jesus, Daniel da Silva Ramalho, Pe. Fransisco S.F. Bareto, Jose Mendonca,
Lorenco de Araujo (Camat Hatubuiliko), Domingos Mulo. Carlota Olinda Araujo
Xavier, dan Mateus da Costa;
28. Kunjungan delegasi
Same Manufahi yang dipimpin oleh Administrator Distrik Manufahi, Filomena
Tilman ke Belu, Timor Tengah Utara dan Timor Tengah Selatan pada tanggal 3 –5
Juli 2002. Rombongan masuk Timor Barat melalui Metamauk-Belu Selatan.
Secara menyeluruh dampak dari Dialog Rekonsiliasi Warga Timor Leste antara lain:
1. Telah terjadi
normalisasi hubungan antara kubu pro
2. Oleh adanya
dialog rekonsiliasi (pertemuan perbatasan dan atau go and see visit) telah
memungkinkan banyak warga kembali ke kampung halaman masing-masing dengan
bebas. Sejak Januari 2001 boleh dibilang perjalanan repatriasi menjadi sangat
mandek. Tetapi setelah adanya dialog rekonsiliasi yang gencar antar komunitas
telah memungkinkan sejak September 2001 repatriasi warga kembali ramai.
Repatriasi episode ini memiliki kekhasan karena warga yang kembali bersama
dengan para pemimpin mereka seperti Liurai, tokoh adat dan tokoh Pasukan Sipil
Integrasi (PSI);
3. Interaksi warga Timor Leste di dua wilayah: Timor Leste dan Timor Barat menjadi sangat normal. Meskipun masih mau tinggal di wilayah TB tetapi sejumlah orang sudah bisa keluar masuk Timor Leste dengan berbagai urusan mereka. Para bapak atau ibu tidak merasa banyak persoalan untuk datang ke kampung halaman masing-masing atau mengunjungi keluarganya di TB. Interaksi serupa juga terwujud di bidang perekonomian perbatasan. Pemerintah RI c.q. Pemda NTT akhirnya menyetujui adanya pasar di perbatasan;
4. Oleh adanya proses rekonsiliasi yang terus berjalan telah memungkinkan pula adanya pelaksanaan kerja Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) di Timor Barat Maret-Juni 2003. Kegiatan pencarian fakta sejarah adanya pelanggaran HAM di Timor Leste April 1974-Oktober 1999.
Kendati banyak dampak positip dari proses rekonsiliasi terhadap kehidupan warga di dua negara tetapi rekonsiliasi sebagai sebuah spirit yang harus dimiliki oleh semua orang yang terlibat dalam konflik belum memberikan hasil signikan. Di kalangan warga masih memiliki perspektif yang berbeda-beda tentang rekonsiliasi. Secara keseluruhan bagi warga yang menghuni kamp melihat rekonsiliasi selalu berujung pada repatriasi untuk reintegrasi. Bertitik tolak dari kerangka berpikir demikian maka pandangan tentang rekonsiliasi di kalangan warga pun beragam sesuai latar belakang masing-masing individu.
Bagi para pekerja: PNS, aparat TNI/ Polisi dan karyawan swasta memberikan pandangan tentang rekonsiliasi sebagai berikut:
“Kami
tidak punya banyak persoalan. Timor Leste adalah negeri kami juga. Tapi jika
kami kembali sekarang ini bagaimana dengan kesejahteraan hidup. Apakah setelah
kami kembali kami mendapat pekerjaan? Apakah kami masih bisa menjadi tentara
FDTL atau Polisi Timor Leste? Kami masih mau menikmati pekerjaan yang sedang
kami jalankan di
Bagi para pejuang integrasi mereka berpandangan antara lain:
1. Jika Timor Leste
mau maju sebagai sebuah negara dan bangsa maka yang harus dilakukan terlebih
dahulu ialah mempersatukan dulu warga yang tercerai berai karena perang atau
konflik. Bila orang belum bersatu sendi-sendi negara akan rapuh. Satu pihak
akan memandang pihak lain adalah musuh. Tentu saja hal itu membuat orang tetap
mencurigai satu dengan yang lain (Gregori Coreira, Tanah Merah dan Amaro
Dias, Nule Amnuban Barat-TTS);
2. Untuk bersatu
orang harus berani melupakan masa lalu. Janganlah menghukum orang-orang yang
dipandang mempunyai kejahatan masa lalu. Kalau mau jujur sebenarnya orang-orang
Timtim yang pegang senjata hanya merupakan alat dari penguasa dan juga para
elite politik. Saat itu orang pegang senjata hanya karena terpaksa supaya bisa
bertahan hidup. Jika tidak mati konyol. Jika kami yang pernah pegang senjata
harus dihukum maka tidak cukup comarca (penjara) untuk menampung semua
tahanan. Mungkin yang baik yakni semua orang Timor Leste dimana saja berada
melihat masa lalu sebagai sejarah hitam bersama. Dan atas dasar itu sejarah
harus berubah menuju masa depan yang baik dimana semua orang merasa memilikinya.
(Horacio Rodrigues, Tanah Merah Soe-TTS);
3. Biarkan dulu
orang-orang berdamai dan pulang ke kampung masing-masing. Nanti kemudian baru
diusut mereka-mereka yang terlibat dalam kejahatan masa lalu seperti membunuh,
memperkosa atau menculik orang. Saat mereka sudah tenang-tenang di kampung;
sudah ada kebun dan rumah, nah baru kemudian mereka diusut. Paling penting
yakni orang berdamai supaya situasi negara stabil sehingga pembangunan politik,
ekonomi dan sosial budaya bisa berjalan. Kalau proses hukum lebih dulu orang
tidak akan pulang dan antara satu dengan yang lain tetap mencurigai. Jika orang
tidak pulang maka pemerintah
Bagi
rakyat kecil mereka berpandangan antara lain:
1. Kami rakyat
kecil itu tidak punya masalah yang banyak. Yang harus berdamai ialah para elite
politik. Kalau mereka sudah berdamai kami yang kecil-kecil ini ikut mereka.
Hari ini mereka bilang pulang, hari ini juga kami pulang. Tapi kalau mereka juga
diam-diam saja, maka kami juga nasibnya seperti begini saja. Kami seperti bola
dibuang, dilempar dan ditendang dan konyolnya kami pun ikut saja. (Domingos
Soares, Settlement Fafioban Koa-TTS);
2. Saya kira
yang harus berdamai itu pelaku dan korban bukan para elite. Mereka itu tidak
punya persoalan. Hemat saya orang dari kampung atau desa yang datang bicara dan
berdamai. Jangan rekonsiliasi dengan elite. Mereka itu hanya omong kosong saja.
Mereka yang buat semua soal lalu kita ini yang jadi korban. Kalau Timor Leste
mau maju biarkan orang-orang bersatu dan rakyat kecil yang terlibat dalam
konflik yang harus berdamai. (Jose Tilman, Kobelete Soe-TTS)
“Rekonsiliasi
merupakan jalan terbaik untuk mewujudkan perdamaian yang abadi. Rekonsiliasi
harus diupayakan melalui pendekatan dialogis yang bersifat vertical dan
horizontal.
1. Vertikal mengacu
pada dialog antara pemimpin dengan pengikutnya, komandan dengan anak buah. Lalu
dialog pemimpin Timor Leste dengan rakyat pro integrasi; pemimpin otonomi
dengan rakyat Timor Leste.
2. Horisontal yakni
dialog pemimpin dengan pemimpin dan antara rakyat dengan rakyat dalam kelompok
masing-masing guna menyamakan visi, persepsi, bahasa dan tindakan tentang
rekonsiliasi. Juga dialog antara pemimpin dengan pemimpin dan antara rakyat
dengan rakyat dari kedua belah pihak.
Guna mewujudkan rekonsiliasi yang luhur harus disertai dengan sikap antara kedua pihak yakni:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar