Senin, 24 Juni 2024

PROSES REKONSILIASI WARGA PENGUNGSI DI TIMOR BARAT INDONESIA DENGAN WARGA TIMOR LESTE, 1999-2002

 

Oleh Matheus Antonius Krivo-Relawan untuk Kemanusiaan Flores bagi Pengungsi Timor Timur,1999-2004

Salah satu upaya untuk menyelesaikan masalah pengungsi warga Timor Timur di wilayah Indonesia adalah melakukan rekonsiliasi antara pihak-pihak yang bertikai.Pihak yang bertikai yakni warga pro integrasi/Indonesia dengan warga pro kemerdekaan Timor Leste.  Kedua pihak yang bertikai perlu bersatu kembali dalam dimensi emosional sebagai sesama warga Timor Leste. Rekonsiliasi adalah jalan damai menyongsong masa depan penuh pengharapan antara kedua belah pihak. Muara dari rekonsiliasi adalah normalisasi hubungan antara Timor Leste dengan Indonesia. Warga kedua belah pihak tetap melakukan interaksi social secara normal meskipun berbeda negara. Apalagi antara Timor Leste dan Timor Barat (Indonesia) berada dalam satu pulau yang sama yakni Timor.

        Hingga tahun 2001 warga Timtim yang masih berada di Timor Barat terdiri dari dua kelompok besar yakni para pekerja:pegawai atau aparatur negara dan para Pejuang Integrasi beserta keluarga besar masing-masing. Menyuruh para pekerja pulang ke kampung halaman merupakan sesuatu yang sulit karena mereka lebih memilih menetap dengan alasan jaminan kesejahteraan. Kaum pekerja berpandangan bahwa meskipun jauh dari tanah tumpah darah tetapi mereka masih punya harapan untuk melanjutkan hidup dari gaji yang mereka dapat dari pemerintah Republik Indonesia.

Begitu halnya menyuruh para pejuang pulang bukan juga gampang. Kendati tidak cukup ruang lagi di Indonesia untuk konsolidasi tapi kelompok ini masih memiliki obsesi perjuangan yakni ingin menegakkan Integrasi di Timor Leste. Pilihan kepada integrasi telah merupakan komitmen apalagi ekspresi perjuangan itu sendiri telah menempatkan para Pejuang Sipil Integrasi, pemuda, veteran 59 dan 75 serta berbagai organisasi pro integrasi  lainnya jauh dari sense of belonging terhadap tanah tumpah darah Timor Leste. Penghancuran secara menyeluruh terhadap Timor Leste sebagai reaksi atas kekalahan jajak pendapat September-Oktober 1999 merupakan realitas yang bukan tidak mungkin menimbulkan jurang pemisah antara kedua kelompok warga Timor Leste. Oleh karena keterlibatan warga Timor Timur pro Indonesia dalam menghancurkan Kota Dili dan daerah lain telah menjadi halangan terbesar untuk kembali ke Timor Leste dengan aman dan damai. Perasaan takut, cemas, dan terancam selalu menghantui mereka manakala memikirkan untuk pulang ke kampung halaman. Menghadapi kondisi psikologis demikian, usaha rekonsiliasi menjadi salahs atu jalan keluar bagi proses penyelesaian kebingungan mengambil keputusan final: entah kembali atau menetap di Indonesia. 

Proses menuju rekonsiliasi memang bukan pekerjaan mudah. Apalagi dalam usaha merujuk kembali harus pula mengurusi pihak-pihak yang terkait dengan pembunuhan, pembakaran, penculikan, penghancuran, dan penjarahan.  Sangat pasti bahwa proses menuju rekonsiliasi membutuhkan waktu, energi serta dana yang besar. Meskipun sulit, tapi langkah rekonsiliasi harus dimulai supaya semua pihak yang bermasalah dari berbagai kelompok dan wilayah; entahkah itu yang mendukung pro kemerdekaan ataupun yang pro Indonesia harus bisa menyelesaikannya dengan cara berdialog. Tentunya semua pihak yang bertikai baik secara politis maupun karena sentimen individu berani menerima kenyataan sekaligus rela memaafkan dan meninggalkan masa silam demi penyatuhan kembali warga Timor Leste. Rekonsiliasi menghendaki adanya kebersamaan kembali (reintegrasi) antar warga dalam suatu wilayah/zona damai seperti sedia kala.

Sejak warga Timtim terlibat dalam konflik kekerasan, banyak suara yang menyerukan perdamaian atau rekonsiliasi.  Begitu pula halnya ketika sebagian warga Timtim harus terpaksa mengungsi ke Indonesia, suara rekonsiliasi terus bergema dari berbagai pihak yang peduli akan masalah kemanusiaan di Timtim. Manakala ketika suara itu terus menerus membahana, upaya-upaya dialog pun mulai berjalan secara perlahan-lahan.

Rekonsiliasi Babak Pertama: Upaya Penghentian Kekerasan Sebelum Jajak Pendapat

Upaya rekonsiliasi pada tahap pertama ditujukan terutama untuk mengurangi tingkat konflik dan kekerasan antar warga yang bertikai baik antara warga Timor Timur maupun dengan pihak pemerintah Indonesia dalam hal ini angkatan bersenjata (TNI dan Polisi).

Dalam Tinjauan Sejarah dan Konsep Forum Rekonsiliasi Rakyat Timor Timur tentang Rekonsiliasi Politik antara Rakyat Timor Timur Pasca Jajak Pendapat oleh Drs. Fransisko Lopes de Carvalho (Yogyakarta, 2001) disebutkan telah berlangsung sejumlah dialog rekonsiliasi sebelum Timtim berpisah dari Indonesia. Dialog perdana yakni pertemuan perdamaian antara kubu CNRM/ Fretelin yang dilakukan oleh Xanana Gusmao dan jajarannya  dengan pemerintah Indonesia yang diwakilkan oleh Gubernur Mario Viegas Carascalao dan Danrem Dili 164/Wiradharma Kol. Purwanto beserta jajaran di Lariguto-Viqueque pada tahun 1983.  Implikasi langsung dari pertemuan perdana yakni berlangsungnya gencatan senjata untuk beberapa saat pada tahun 1983.        

Selanjutnya berlangsung berbagai pertemuan lain untuk rekonsiliasi antar kubu pro kemerdekaan dan pro Indonesia/Integrasi seperti di London tahun 1994 yang terlaksana atas prakarsa Abilio de Araujo dan Fransisco Lopes da Cruz. Lalu pertemuan AIETD selama empat kali di Austria dibawah koordinasi PBB dalam hal ini oleh Duta Besar Utusan Khusus Sekjend PBB urusan Timor Timur, Jamsheed Marker.   Pertemuan Dare I pada tahun 1998 yang diprakarsai Uskup Filipe Ximenes Belo. Lalu Pertemuan antara Uskup Belo dan Uskup Basilio do Nascimento dengan Presiden Habibie di Bina Graha Jakarta tahun 1998. Pertemuan antara tokoh-tokoh dan aktivis pro-kemerdekaan serta pro-integrasi pada era reformasi tahun 1998 di Gedung Clavis Dili yang diprakarsai oleh Ir. Mario Viegas Carrascalao. Sempat juga terjadi pertemuan antara Falur Rate Laek, komandan Falintil Regium III, Komandan Decker dan komandan Naibuti dengan tiga orang Komandan Sektor PPI, Joanico Cesario, Eurico Gutteres dan Fransisco Lopes de Carvalho yang mewakili Cancio Lopes de Carvalho di Baucau tahun 1999. Pertemuan anggota pasukan itu difasilitiasi oleh Mr. Ian Martin dari UNAMET. Lalu pertemuan Dare II di Hotel Seraton Jakarta Mei 1999.

Disamping pertemuan dilakukan pula kesepakatan damai secara massal  antara kedua pihak yang bertikai sebelum Jajak Pendapat. Kesepakatan itu ditandatangani pula oleh masing-masing utusan dari kedua kubu di Dili pada tanggal 21 April 1999. Pihak pro Indonesia yang menandatangi kesepakatan damai yakni Domingus Soares (Ketua FPDK) dan Joao Tavares (Panglima PPI). Sedangkan dari kubu pro kemerdekaan yang membubuhkan tanda tangan ialah Xanana Gusmao (lebih dulu memberikan tanda tangan di Jakarta), Leandro Isaac dan Manuel Viegas Carascalao dari CNRT. Selain itu kesepakatan damai juga ditandatangani oleh Gubernur Timtim Abilio Jose Osorio Soares, Danrem Dili Tono Suratman, Kapolda Timtim, Kol (Pol) Timbul Salean dan seorang anggota Komisi Nasional HAM, Joko Sugianto. Pihak yang menyaksikan penandatangan kesepakatan itu ialah Panglima TNI, Jendral Wiranto dan kedua Uskup masing-masing Mgr. Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB, Uskup Dili dan Mgr. Basilio do Nascimento, Uskup Baucau.

Dari sekitar sepuluh lebih pertemuan merujuk perdamaian yang terjadi pada babak pertama terlihat nyata bahwa setelah pertemuan yang melelahkan, membutuhkan banyak sumber daya dan diprakarsai atau dimediasi oleh banyak pihak seperti PBB, Gereja, Pemerintah RI, NGO Internasional ternyata masing-masing pihak cenderung kembali kepada aksi kekerasan. Akhirnya kekerasan itu pun memuncak dengan hangusnya Dili dan Timtim pada umumnya pasca pengumuman jajak pendapat 4 September 1999 dan memaksa lebih seperempat juta warga Timor Timur mengungsi ke Timor Barat Indonesia.

Sesuatu yang menarik dari proses menuju rekonsiliasi pada babak pertama yakni bersifat eksklusif yakni mengedepankan pola pendekatan top down, sehingga yang terlibat hanya pihak-pihak yang tergolong elite di masing-masing kubu. Masyarakat pada lapisan grass root (pelaku dan korban) sama sekali belum disentuh. Proses yang terjadi lebih merupakan ‘kompromi politik’ dari para elite yang berkuasa dengan tujuan jangka pendek yakni menghentikan kekerasan. Sementara tujuan jangka panjang yakni menciptakan perdamaian yang utuh dan tuntas masih berjalan di awan-awan.

 



Rekonsiliasi Babak Kedua:Masa Transisi UNTAET Pasca Jajak Pendapat

Pada babak kedua kondisi yang paling khas adalah pengungsian sebagian warga Timor Timur ke Timor Barat dan bagian lain di Indonesia. Suatu masa dimana konflik kekerasan pada September 1999 telah berakhir dan berkuasanya pemerintahan transisi PBB. Upaya perdamaian kembali bersemi manakala menyaksikan betapa tragisnya konflik pasca pengumuman Jajak Pendapat hingga berdampak pada pengungsian warga yang mengerikan.

Uppsala University dari Swedia sejak tahun 2000 bergiat memfasilitasi pertemuan dan dialog antara kubu Pro Kemerdekaan dan Pro Integrasi diantaranya di Tokyo, Singapura, Bali dan Baucau. Dengan adanya dialog-dialog pada berbagai tempat itu telah memungkinkan terlaksananya pula pertemuan dan dialog pada kalangan masyarakat di perbatasan atau di kamp-kamp pengungsian Timor Barat seiring dengan kegiatan go and see visit.  Oleh berbagai dialog yang terus berlangsung telah memungkinkan terjadi dua peristiwa penting yang merupakan simbol kemajuan proses rekonsiliasi yakni:

  1. Berlangsungnya dua kali kunjungan Uskup Baucau Mgr. Basilio do Nascimento. Kunjungan pertama ke Atambua berlangsung pada tanggal 9-10 Juni 2000. Kunjungan kedua ke Kupang berlangsung pada tanggal 28-31 Mei 2001. Kunjungan uskup merupakan wujud kepedulian gereja untuk mempersatukan kembali warga Timor Leste. Pada kunjungan kedua, uskup menyertakan anggota Dewan Rekonsiliasi antara lain Frasisco Guteres, Paul Asis dan Fransisco Berlacu serta 6 Liurai untuk bertatap muka dengan saudara mereka di Timor Barat.
  2. Berlangsung tiga kali kunjungan Mr. Xanana Gusmao. Mula-mula ke Kupang pada tanggal 26-28 Nopember 2001. Kemudian ke Atambua dan Kefamenanu pada tanggal 4 April 2002. Selanjutnya berkunjung lagi ke Kupang, Kefamenanu dan Atambua pada tanggal 1-4 Nopember 2002.

Ada dua bentuk proses rekonsiliasi yang berlangsung pada tahap kedua yakni pertemuan dalam forum resmi dan go and see visit dari dan ke Timor Leste.

A. PERTEMUAN

Sejumlah pertemuan yang merupakan pentahapan rekonsiliasi antar warga Timor Leste yang masih di Timor Barat/Indonesia dengan yang berada di Timor Leste/Pro Kemerdekaan.

1. Pertemuan Motaain, 12 Desember 1999

Peserta dari Timor Leste terdiri dari Xanana Gusmao, Falur Ratelaek (Komandan Rayon III), Dominggus Candoso (Sekretaris Rayon Falintil), Letkol. Pol. Paulo Martins (Komandan Civpol Timtim). Peserta dari kalangan pro Integrasi antara lain Joao da Silva Tavares, Kol. Inf. Jurefar (Danrem 161 Wirasakti), Kol. Inf. Moedjito Area (Ketua Bakortanasda Pangdam IX Udayana) Letkol. Inf. Djoko Subandrio (Dandim 1605 Belu), Letkol. Inf. M. Manurung (Dandim 1618 TTU) Letkol. Pol. R. Muh. Arifin (Plh. Kapolres Belu), Drs. Marsel Bere (Bupati Belu), Blasius J. Manek, BA (Ketua sementara DPRD Belu). Turun hadir dalam pertemuan tersebut sejumlah komandan Bataliyon PPTT (Pimpinan Pejuang Timor Timur).

Materi Pembicaraan:

  • Dari pihak Timor Leste mengajukan beberapa pemikiran:

1. Pihak Timor Leste menyadari bahwa rekonsiliasi merupakan jalan terbaik membangun Timor Leste menjadi Timtim baru dan melaluinya semua pihak sehati sejiwa menata masa depan. Namun dibutuhkan sikap rendah hati dan saling menerima antar kubu Falintil dan Parpol Timor Timur;

2.   Menaruh harapan yang besar untuk kembalinya pengungsi ke Timor Leste;

3.   Jaminan keamanan merupakan tanggungjawab setiap rakyat Timor Leste;

4. Mengharapkan persatuan dan kebersamaan dalam membangun daerah Timor Leste;

5.  Melupakan segala masa lalu untuk menata Timtim menjadi negara yang berwibawa dan bermartabat.

  • Dari pihak Timor Barat hanya mengusulkan satu hal yakni menyangkut jaminan keamanan. Pihak Pro-integrasi siap untuk kembali ke Timor Leste jika keamanan sungguh terjamin. Khususnya keamanan di tingkat desa. 

2. Pertemuan Denpasar, 18-19 Desember 2000

Peserta yang hadir dari kalangan pro Indonesia adalah perwakilan Uni Timor Aswain (UNTAS) dan dari Timor Leste yaitu perwakilan CNRT.

Beberapa Pertimbangan:

1.  Rekonsiliasi murni dan inklusif antar orang Timtim adalah salah satu kunci diantara beberapa pertimbangan penyelesaian akhir berbagai masalah antara orang Timtim sejak tahun 1975;

2.  Rekonsiliasi merupakan suatu proses yang membutuhkan waktu dan itikad baik bagi seluruh orang Timtim;

3. Kebutuhan untuk menyelesaikan berbagai perbedaan antar orang Timtim untuk membangun saling kepercayaan;

4. Mempunyai kemauan untuk membangun perdamaian melalui rekonsiliasi antara orang Timtim berdasarkan pada persaudaraan dan penghargaan bersama;

5. Menyampaikan penghargaan kepada Departemen Penelitian tentang perdamaian dan konflik dari Upsala University Swedia, pemerintah Indonesia dan Untaet atas bantuannya dalam memfasilitasi pertemuan dan mengharapkan dukungan yang berkelanjutan.

 Hasil Kesepakatan:

  1. Menutup lembaran gelap masa lalu yang ditandai dengan berbagai konfrontasi, kebencian dan kekerasan antar kelompok partai yang terlibat dalam masalah Timtim dan membuka lembaran baru yang anti kekerasan untuk membangun suatu Timor Timur yang damai, aman, demokratis dan sejahtera tanpa membedakan latar belakang orientasi politik dan afiliasi;
  2. Meneruskan dialog dan proses rekonsiliasi untuk mengkontribusikan pemikiran-pemikiran yang objektif;
  3. Menyetujui dialog kedua yang akan terjadi di Dili dalam tahun 2001 ini;
  4. Membentuk kelompok kerja antar Untas dan CNRT untuk mengidentifikasi masalah dan isu yang nantinya akan diusulkan pada pertemuan dialog rekonsiliasi ke-II berikutnya.

3. Pertemuan Perdana Biara Carmel Penfui, 3 April 2001

Sebelum terjadinya pertemuan awal di Biara Karmel OCD, kisah ini dimulai dengan perjumpaan pertama antara Pastor Hubert Thomas Hasulie, SVD dengan Cancio Lopes de Carvalho, salah satu Komandan PPI Sektor C dan Nemecio Lopes de Carvalho (Wakil Komandan Mahidi) pada tanggal 12 Maret 2001 di kediaman Cancio, Penfui Kupang. Ikut serta dalam pertemuan tersebut Pastor Clemens Hayon, SVD, Pius Rengka (Pemred Sasando Pos).

         Perjumpahan kali pertama yang mengesankan itu dilanjutkan pada besoknya, 13 Maret 2001, dengan peserta yang sama. Setelah melewati dialog yang intens akhirnya disepakati perlunya koordinasi bersama untuk mengkonsolidasi dan menghimpun aspirasi anggota. Dengan itu menjadi alasan untuk negosiasi dan dialog antara PPI dengan Falintil/FDTL.  Akhirnya antara Cancio Lopes de Carvalho dan Pastor Hubert Thomas Hasulie, SVD bersepakat menggelar pertemuan konsolidasi perdana.

Pertemuan pada tanggal 3 April 2001 merupakan tahap awal proses dialog antar warga Timtim di pengungsian setelah mengalami kebuntuan selama beberapa waktu. Pertemuan ini terselenggara berkat kerja sama antara Pater Hubert Thomas, SVD dengan Komandan PPI Sektor A, Joanico Cesario Belo, Komandan PPI Sektor C, Cancio Lopes de Carvalho dan Wakil Komandan Mahidi, Nemecio Lopes de Carvalho. Pertemuan tahap awal ini berlangsung tertutup. Pimpinan pertemuan adalah Joanico Cesario Belo yang didampingi oleh Cancio Lopes de Carvalho. Dalam pertemuan itu peserta yang hadir selain 28 warga PPI dan juga Pater Hubert Thomas, SVD, (pencetus) Matheus Antonius Krivo dan Corvandus Sakeng dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores (TRuK-F) sebagai pihak yang memfasilitasi.

Peserta yang hadir merupakan wakil dari 6 kesatuan PPI masing-masing 19 anggota Mahidi dari Ainaro, 2 anggota Mahadoni dari Manatuto, 1 anggota BMP dari Liquica, 2 anggota Ahi dari Ailiu, 3 anggota Laksaur dari Suai, dan 1 anggota Saka dari Baucau. Masing-masing peserta yakni:  Filomeno A. Brito, Horacio, Jose A. AMP, Remijio Lopes de Carvalho, Celestino M,  Agustinho S., Jesito das Neves, Dominggus Alves, Hermenio Lopes, Mateus Amaral, Orlando B. Das.,  Manuel Gomes,  Josefa Dos Reis, Aniseto Lopes, Acacio Monteiro, Amaro Gomes, Benjamin Kiak Mane, Orlando Magno, Santino de A., Napoleao da Santos,  Alexio Pareira, Januario Lopes, Bernadino B. Lopes,  Luis A. Aquino C., Junior de A., Joanico Cesario Belo, Nemecio Lopes de Carvalho, dan Cancio Lopes de Carvalho. Peserta utusan pengungsi wilayah Kupang tidak sempat hadir karena terjadi mis-komunikasi.

Proses dan Agenda Pertemuan:

Agenda utama pertemuan yang disepakti oleh ketiga pimpinan PPI dan fasilitator yakni menghimpun aspirasi warga pengungsi seputar rekonsiliasi. Pertemuan yang sifatnya konsultatif ini berkenan mendengarkan bebagai pandangan dari masing-masing peserta untuk rekonsiliasi. Dari berbagai pembicaraan yang berkembang dalam rapat terdapat beberapa pemikiran diantaranya:

1.  Rekonsiliasi perlu untuk dilakukan karena penderitaan para pengungsi di kamp-kamp sudah terlalu lama;

2.  Rekonsiliasi yang aktual yaitu terjadi antara Falintil dengan PPI, karena keduanya terlibat dalam aksi kekerasan yang memungkinkan masyarakat Timtim menderita. Jika Falintil dengan PPI telah berdamai otomatis warga Timtim bisa mewujudkan perdamaian secara menyeluruh;

3.  Menyadari bahwa baik Falintil maupun PPI bertanggung jawab terhadap seluruh masalah Timtim maka diharapkan kedua belah pihak bisa saling memaafkan dan melupakannya guna menata kembali masa depan Timtim yang merdeka. Jika masing-masing pihak saling mengungkit masa lalu yang pedih dan perih maka tidak akan mencapai titik rekonsiliasi;

4. Oleh karena Falintil dan PPI sama-sama bersalah dan sama-sama bertanggung jawab terhadap penderitaan negeri Timor Leste maka adalah tidak adil jika proses hukum dan pengadilan HAM hanya diberikan untuk  PPI. Jika mau fair maka kedua belah pihak harus dikenakan sanksi yang sama;

5.  Menyadari bahwa rekonsiliasi penting dan mendesak untuk dilakukan maka jalan menuju ke sana harus melewati tahap-tahap pembicaraan antara kedua belah pihak baik Falintil maupun PPI;

6.  Masalah Timor Timur adalah masalah antara warga Timor Timur sendiri. Karena itu yang harus menyelesaikan masalah Timor Timur ialah warga Timor Timur sendiri bukan orang lain. Pihak lain entahkah itu PBB, Vatikan, Indonesia, ataupun lembaga apa saja boleh terlibat tapi hanya sebagai pihak yang memperlancar;

7.  Rekonsiliasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah Timtim ialah rekonsiliasi bathin. Artinya semua pihak harus menyadari kesalahan yang dibuatnya, dengan itu tercapai sikap memaafkan satu sama lain lalu  kembali hidup berdamai untuk membangun Timor Timur secara bersama-sama;

8. Untuk mewujudkan rekonsiliasi semua pihak yang berniat baik harus dikutsertakan dalam seluruh proses. Kecuali memang yang tidak mau sama sekali. Ini bermaksud supaya tidak ada orang yang merasa ditinggalkan dalam usaha bersama;

9.  Dalam upaya negosiasi untuk rekonsiliasi mesti disadari betul bahwa harus ada hal-hal yang menjadi kesamaan pandangan.  Lalu jika ada perbedaan harus dicarikan jalan keluar yang mengakomodir semua pihak. Selain itu setiap pihak yang terlibat dalam negosiasi harus mampu melepaskan hal yang mengganjal dan rela taat kepada apa yang dikehendaki pihak lain. Artinya pihak PPI maupun Falintil tidak harus selalu menuntut apa yang tidak mampu dipenuhi oleh masing-masing pihak.

 Dari serangkaian pembicaraan yang berkembang, peserta rapat bersepakat:

1. Menulis surat usulan kepada pihak Falintil guna mengadakan pertemuan antara Falintil dengan PPI. Surat tersebut akan dibawa oleh pihak fasilitator dalam hal ini Pater Hubert Thomas Hasulie, SVD. Surat tersebut ditandatangani oleh seluruh peserta rapat;

2.  Selanjutnya jika proposal disetujui di pihak PPI akan dipilih secara demokratis utusan-utusan dari berbagai kesatuan sesuai kesepakatan bersama;

3. Proses ini secara intern bersifat terbuka sedangkan secara keluar bersifat tertutup dan terbatas. Hal ini penting untuk menjaga supaya publik tidak harus mengetahui dengan demikian mencegah penjegalan;

4.  Setiap peserta atau pihak pro rekonsiliasi harus membatasi diri dalam berkomentar tentang pihak di Timor Leste supaya memelihara hubungan baik, dengan demikian harapan kelompok PPI bisa disetujui pihak di Timor Leste.

Konsep pemikiran tentang rekonsiliasi:

1. Rekonsiliasi adalah jalan/jembatan menuju pewrdamaian antara orang Timor Timur, karena perdamaian itulah sesungguhnya penyelesaian masalah Timor Timur sendiri;

2. Rekonsiliasi artinya mempertemukan dan mendialogkan orang-orang Timor Timur khususnya yang punya masalah (PPI dan Falintil);

3.  Kerusut atau akar permasalahan dalam konflik sesungguhnya adalah PPI dan Falintil;

4. Oleh karena itu dipandang sangat penting dan urgen harus ada satu dialog khusus dan terbatas antara para komandan utama Falintil dan Komandan-komandan utama PPI.

4. Pertemuan Kedua Karmel, 2 Mei 2001

Peserta  yang hadir dari Wilayah Kupang antara lain:  Emiliano Gomes (Makikit), Frizal da Costa (Team Alfa), Benedicto Soares (Team Alfa), Duarte Fernandes (Team Alfa), Jose Fernandes (Team Alfa), Cornelio Ribeiru (Koordinator Kamp Lospalos),  Jose de Conceicao (Team Alfa), Constancio Pareira (Team Alfa), Salustiano A. Lopes, Fransisco A. Gusmao, Paulo Freitas, Domingos G. Ximenes, Manuel, Aleks Calda, Thomas Guteres, Miguel dos Reis, Matius Lopes, Bartolomeus, Pascoal, Alesander Amaral, Nemecio Lopes de Carvalho (Mahidi), Cancio lopes de Carvalho (Mahidi), Joanico Cesario Belo (Saka), Augusto da Costa (tokoh Baucau), Antonio Soares. Peserta dari wilayah Belu tidak sempat hadir tepat waktu karena halangan teknis kendaraan. Pada intinya pertemuan ini mempersiapkan konsep-konsep pemikiran untuk pertemuan Denpasar.

Materi Pertemuan:

1. Pihak PPI dan Warga pengungsi di Timor Barat memandang proses rekonsiliasi yang sedang berlangsung mencapai sasaran untuk semua warga Timor Leste baik yang berada di pengungsian maupun yang berada di Timor Leste sendiri.

2.  PPI dan warga pengungsi mengharapakan terwujudnya amnesti umum untuk warga Timor Leste. Hal ini urgen karena semua warga Timor Leste telah terlibat sepanjang waktu dalam kesalahan yang merugikan semua pihak.

3. PPI dan pengungsi memandang jasa besar pihak pro kemerdekaan yang telah memungkinkan terbukanya pintu kemerdekaan untuk warga Timor Leste. Namun kiranya buah kemerdekaan itu dapat dinikmati oleh semua pihak termasuk warga pengungsi pro-integrasi.

4.  PPI dan pengungsi memandang bahwa proses rekonsiliasi dan persatuan kembali warga Timor Leste hanya berjalan efektif jika semua pihak mampu menanggalkan atribut kestatusannya masing-masing. Semua orang hanya boleh mengenakan status tunggal yakni sebagai warga Timor Leste. Dengan demikian memungkinkan orang terlibat dalam derajat yang sama, dengan kata lain berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.

5. Pertemuan Denpasar, 5-6 Mei 2001 di Biara Soverdi Bali Wacana, Denpasar-Bali

Pertemuan Denpasar ini difasilitasi oleh Uppsala University bekerja sama dengan  Pater Hubert Thomas Hasulie, SVD dan Mikahel Grant dari TRuK-F. Peserta pertemuan antara lain:  Samuel Mendonza, Aquilino Fraga Guterres, Julio Sarmento, Guilhermina Saldanha, Daniel Sarmento Soares, David Dias Ximenes, Raul Domingos, Manuel Pinto, Elisario Pereira, Jovencio Martins, Fransisco Soares, Mariano Sabino Lopes, Paulo Assis Belo, Fransisco da Costa Guterres, Cosme Cabral, Francisco Lopes de Carvalho, Joanico Cesario Belo, Cancio Lopes de Carvalho, Nemecio Lopes de Carvalho, Jesito das Neves, Aniceto Neves de Carvalho, Domingos Guteres, Augusto da Costa, Aquino Caldas, Jose Afat, Alfonso Nogueira Nahak, Serafin Pires, Zakareas Alves, Domingos Soares, Filomeno A. Brito, Edmundo da Silva, Martinho Fernandez, Mateus Maia.

 Agenda Dialog:

§  Tanggal 5 Mei 2001. Pada hari pertama pertemuan rekonsiliasi, utusan masyarakat Timor Timur yang berada di tempat pengungsian menyampaikan proposal rekonsiliasi politik. Dalam proposal tersebut tercantum pula beberapa usulan dari pihak pengungsi yang dapat dijadikan agenda diskusi bersama. Usulan-usulan tersebut antara lain:         

1.   Agar meninggalkan kesan dan gengsi sebagai pemenang mutlak;

2.  Agar melibatkan seluruh masyarakat pro-otonomi dalam semua sistem kehidupan di Timor Leste;

3.  Agar memulihkan atau mengembalikan hak milik masyarakat pro-otonomi yang saat ini telah dikuasai oleh badan-badan pemerintah, swasta dan individu pro-kemerdekaan;

4. Agar memberikan amnesty umum kepada semua orang, baik yang pro-otonomi maupun pro-kemerdekaan yang terbukti telah melakukan tindakan pelanggaran hukum dan HAM baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dalam rangka usaha mewujudkan/mempertahankan pilihan/keyakinan politiknya semenjak tahun 1975. Dalam pemberian amnesti yang dimaksud harusharus dituangkan dalam konstitusi negara Timor Leste sebagai jaminan nasional yang mengikat, dihormati dan dijalankan secara konsekuen oleh seluruh komponen bangsa Timor Leste. Amnesti itu harus diperkuat dengan sebuah resolusi PBB;

5.  Agar tidak mengharuskan semua pengungsi pro-otonomi di Indonesia untuk kembali ke Timor Leste. Sebab penentuan status kewarganegaraan seseorang merupakan hak asasi orang yang bersangkutan;

6.  Agar mencegah tindakan main hakim sendiri terhadap masyarakat atau individu pro-otonomi oleh masyarakat atau orang-orang pro kemerdekaan;

7.  Agar semua kekuatan politik, organisasi masyarakat, pemuda mahasiswa dan pelajar diharuskan menyatakan mendukung secara resmi rekonsiliasi total dan seimbang antara msyarakat prokem dan pro-otonomi;

8.  Agar masa depan Timor Leste yang bebas dan merdeka dapat ditentukan sesudah rekonsiliasi terlaksana.

 §  Dari pihak pro-kemerdekaan memberikan beberapa pokok pikiran tentatif sebagai bahan diskusi bersama :

1. Perlunya membentuk sebuah team kerja pemulangan para pengungsi dari NTT-Indonesia ke Timor Leste;

2.   Perlu dilakukannya rekonsiliasi pada tingkat Distrikal;

3.   Kedua belah pihak perlu menyusun “Program go to visit”;

4.   Sosialisasi hasil diskusi pertemuan ini di masing-masing wilayah kerja;

5.   Penetapan jadwal pelaksanaan kerja.

Tanggal 06 Mei 2001, pada hari kedua dari jadwal pertemuan yang telah diagendakan, masing-masing delegasi/utusan menyampaikan tanggapan balik terhadap usulan yang telah disampaikan sebagai bahan diskusi pada hari pertama. Secara keseluruhan hasil tanggapan tersebut dapat dilihat di dalam lampiran tentang tanggapan masing-masing delegasi terhadap usulan yang disampaikan. Selain terjadi pertemuan atau diskusi bersama juga berlangsung pertemuan tertutup antara individu. Pertemuan itu sendiri terjadi pada malam hari di sela-sela pertemuan bersama.

Ada beberapa pokok pikiran yang ditarik menjadi kesepakatan bersama antara kedua kubu:

1.  Menerima hasil jajak pendapat/referendum;

2.  Rekonsiliasi tingkat distrik merupakan pilihan kebijakan yang lebih strategis;

3. Memberikan kebebasan dan hak bagi setiap orang Timor Leste untuk menentukan status kewarganegaraannya;

4.  Berusaha mencari penyelesaian hak kepemilikan setiap warga Timor Leste. 

 6. Pertemuan antar warga Viqueque, 18 Mei 2001 di Batugade-Timtim

Pertemuan antar warga Viqueque difasilitasi oleh Satgas PMP (Satuan Tugas Penyelesaian Masalah Pengungsi), Satgas Pamtas (Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan) NTT-Timtim, LSM JRS (Jesuit Refuggees Service)

Peserta yang hadir dari Timor Barat antara lain utusan masyarakat Lakluta dan Viqueque yakni Filipe Parade, Joao Careles, Julio Ribeiru, Julio Amaral, dan Faustino Amaral. Sedangkan peserta dari Timor Leste yakni Filomeno da Cruz, Markus Amaral, Pascoal Gomes Martins, Nelson da Cruz.

Pertemuan tersebut menyajikan beberapa point kesepakatan:

1.  Menyadari kesalahan masa lalu;

2.  Mempunyai komitmen untuk saling memaafkan;

3.  Bersedia melupakan perselisihan masa silam yang pernah terjadi di kampung halaman;

4. Memberi jaminan keamanan kepada para pengungsi yang berniat kembali ke daerah asalnya.

7. Pertemuan Baucau, 25-27 Mei 2001

Pertemuan di Baucau difasilitasi oleh Uppsala University dari Swedia dan UNTAS.Para peserta pertemuan ini adalah utusan pengungsi yang tergabung dalam UNTAS dan para tokoh eks CNRT dan pejuang kemerdekaan Timor Leste. Utusan UNTAS yang hadir  yakni Filomeno de Jesus Hornay, Clementino C. Branco, Filomeno Osvaldo Ximenes, Felisberto Amaral, Arnaldo Moniz, Joao Bosco, Noberta Belo, Hukman Reni, Miquel Epivanio Amaral, Claudio Viera, Arnaldo da Silva Tavares, Andre Gomez, Alberto de Neri, Valerio Pinto, Abdul Malik,  Kariem Amrullah Soares, Septory Simon, Bernardo Gamboa, Bonsiano Gorrete Monteiro, Emiliano Gomez, Manuel Moniz, Emanuel Barros, Fransisco Portonicio, Marcel Herman Seran, Teofilo Seran Ximenes, Horacio Cago Cabecadas, Aurea Belo, dan Jose Alves. Turut hadir dalam pertemuan di Baucau ialah Fransisco Lopes de Carvalho yang datang secara pribadi.

Ada dua agenda yang menjadi pokok pembicaraan yakni:

1. Masalah seputar pengungsi Timtim untuk ikut membangun Timor Leste menuju masa depan yang lebih baik;

2.  Masalah pelanggaran HAM di Timtim sejak tahun 1975 hingga tahun 1999.

8. Pertemuan Masyarakat Ainaro, 7 Juli 2001 di Salele-Kovalima

Pertemuan ini difasilitasi oleh TRuK-F dan UNTAET yang dipimpin Mr. Parameswaran. Peserta pertemuan ialah utusan pengungsi asal Ainaro dan tokoh-tokoh penting dari Ainaro sesuai permintaan kalangan pengungsi. Peserta pertemuan dari kalangan pengungsi berjumlah 28 orang di bawah pimpinan Cancio Lopes de Carvalho (Mantan Komandan Mahidi) dan Raja Cassa, Dom Mateus Lopes de Carvalho, Fransisco Lopes de Carvalho serta Nemecio Lopes de Carvalho serta Pater Hubert Thomas Hasulie, SVD serta Romo Pastor Paroki Betun-Malaka.

Hasil Pertemuan:

Pertama, kedua belah pihak menyadari bahwa konflik yang terjadi telah menimbulkan suatu tragedi yang memilukan. Hal itu merupakan sejarah kelam bagi bangsa Timor Leste. Menyadari hal tersebut maka perlu adanya kesadaran bersama untuk melupakan dan tidak mengulanginya kembali di masa-masa yang akan datang. Namun kedua belah pihak juga menyadari bahwa meskipun mereka saling memaafkan tapi itu tidak berarti harus menghilangkan aspek hukum. Sebagai sebuah negara baru penegakan hukum harus sungguh-sungguh menjadi landasan pijak bagi semua orang. Pihak- pihak yang terlibat dalam pelanggaran HAM, proses hukum harus dia lalui guna pemulihan diri. Kedua, ada kesepakatan bersama untuk memulangkan pengungsi. Pemulangan tersebut diharapkan dapat berlangsung sebelum diadakan Pemilu di Timor Leste sehingga semua orang Timtim dapat mempergunakan hak politiknya sebagai warga negara baru itu dalam Pemilu. Ketiga, berkaitan dengan pemulangan pengungsi tersebut pihak warga Timor Leste yang terwakil dalam pertemuan Salele berjanji untuk memberikan jaminan keamanan bagi warga pengungsi yang akan kembali ke Timor Leste. Jaminan keamanan ini mutlak diperlukan karena salah satu alasan yang cukup mendasar sebagaimana berkembang di tengah pengungsi adalah masalah jaminan keamanan ketika mereka berada di Timor Leste. Keempat, bagi warga masyarakat yang berstatus TNI, Polri atau pun PNS masih diberi kesempatan untuk mengabdi di Indonesia. Namun harus disadari bahwa Timor Leste juga merupakan tanah air mereka. Oleh karena itu harus ada kesadaran untuk tetap membantu saudara-saudara mereka yang telah memilih untuk kembali ke Timtim baik dalam bentuk finansial maupun dukungan moril. Secara khusus turut membantu memulangkan masyarakat biasa yang sekarang masih berada di tempat pengungsian.

9.  Pertemuan Masyarakat Kovalima, 7 Agustus 2001 di Salele-Kovalima

Pertemuan ini difasilitasi oleh TRuK-F dan UNTAET yang dipimpin Mr. Parameswaran serta Forum Rekonsiliasi Masyarkat Kovalima (FORMAK). Para peserta pertemuan dari Timor Barat berjumlah 67 orang dengan pimpinan rombongan yakni Helio Caitano Moniz, Catano Mendonca de Araujo, Filipe de Neri, Mateus Amaral, Fransisco Manek, Afonso Nugueira Nahak, Alberto Neri dan sejumlah tokoh Kovalima lainya. Sedangkan dari Timor Leste berjumlah 213 orang yang dipimpin langsung oleh Xanana Gusmao.

Utusan dari Timor Barat (umumnya dari Betun) sehari sebelumnya Senin, 6 Agustus 2001 melakukan pertemuan persiapan dan pemantapan di kediaman bapak Agustinho da Silva (Mantan Kades Lalawa) yang terletak di kampung Solo-Aimale, Betun. Pada pertemuan persiapan itu peserta menyepakati tiga point antara lain: pertama, seluruh masyarakat Kovalima menyadari dan menyesali semua tragedi kemanusiaan dan melihatnya sebagai sejarah masa kelam. Kedua, menyesali dan mengutuk semua bentuk diskriminasi dan anarkisme yang telah, sedang dan akan terjadi di Timor Leste. Ketiga, meminta seluruh lapisan masyarakat untuk menghormati hak-hak semua warga masyarakat yang kini berada di Timor Leste.  Ketiga pokok pikiran itu sekaligus juga menjadi kesepakatan bersama antara kedua belah pihak.  Peserta dari Suai-Kovalima hanya berharap pengungsi yang masih berada di tempat pengungsian dapat segera kembali ke kampung halamannya masing-masing untuk memulai hidup bersama lagi seperti dahulu.

10.  Pertemuan Masyarakat Ainaro, Senin 8 Oktober 2001 di Salele-Kovalima

Peserta pertemuan antara lain masyarakat pengungsi asal Ainaro, subdistrik Ainaro, Maubesi, Hatuudu dan Hatubaliko yang berjumlah 166 orang dan dipimpin oleh Apolinario da Silva (anggota Polisi), Belarmino F. Neves dan pendamping rohani, Padre Mateus do Rosario da Crus. Sedangkan dari Ainaro berjumlah kurang lebih 300 orang. Pertemuan itu diawali dengan penyerahan empat patung Cristo Regi oleh para pengungsi kepada para wakil dari keempat subdistrik yang hadir dalam pertemuan rekonsiliasi tersebut. Patung dijadikan sebagai lambang rekonsiliasi dan perdamaian semesta tanpa syarat.  Seluruh pembicaraan dalam temu rekonsiliasi tersebut mengarah kepada satu kesepakatan bersama yakni menyangkut pemulangan pengungsi ke kampung halamannya. Ada pula hal yang menjadi perhatian bersama berkaitan dengan pemulangan tersebut antara lain:

1.  Masalah jaminan keamanan

2.  Masalah kepemilikan

3.  Masalah lapangan kerja

11. Pertemuan Para Polisi Resort Belu asal Timtim dengan Mr. Xanana Gusmao,18 Oktober 2001di Salele-Kovalima

Jumlah anggota polisi asal Timtim yang mengikuti pertemuan sebanyak 224 orang yang dipimpin langsung oleh Kapolres Belu, AKB Nender Yani. Tujuan pertemuan ialah memberi suasana persahabatan dan perdamaian sekaligus motivasi bagi para Polisi sehingga dapat menentukan pilihan untuk pulang ke Timor Leste atau tetap tinggal di Indonesia. Dalam pertemuan itu Mr. Xanana Gusmao berjanji untuk menerima saudara-saudaranya yang akan kembali ke Timor Leste dengan tangan terbuka. Mr Xanana Gusmao juga mengharapkan agar warga Timtim yang masih berada di tempat pengungsian untuk kembali. Namun Xanana Gusmao secar jujur tidak menjamin lapangan pekerjaan bagi mereka yang memilih untuk kembali. Kalau ada yang tidak kembali karena alasan pekerjaan maka sangat diharapkan agar mereka yang telah mendapat pekerjaan dapat membantu kebutuhan finansial untuk saudara-saudaranya yang berada di Timor Leste.

12. Pertemuan Masyarakat Ermera, 24 Oktober 2001 di Motaain

Peserta yang menghadiri pertemuan berjumlah 90 orang. Dari Ermera rombongan dipimpin oleh Administrator Distrik Ermera, Victor dos Santos. Sedangkan peserta pengungsi sebanyak 77 orang dipimpin oleh Claudio de Jesus Lay. Pertemuan rekonsiliasi antara masyarakat Ermera didahului dengan upacara adat yang dipimpin oleh Claudio de Jesus Lay. Upacara adat tersebut bertujuan untuk mempersatukan kedua kelompok bersaudara yang selama dua tahun karena telah berpisah. Persatuan tersebut disimbolkan melalui perecikan air kelapa muda ke kepala peserta pertemuan. Dengan menggunakan bahasa adat Tetun, Claudio mengucapkan selamat datang dan selamat bertemu kembali untuk seluruh peserta di tapal batas NTT dengan Timor Leste. Menurutnya kegiatan hari itu merupakan sebuah pekerjaan agung karena demi terciptanya rekonsiliasi seluruh masyarakat Ermera. Lebih jauh Claudio mengatakan bahwa mereka datang dengan perasaan sejuk dan damai untuk bertemu dengan saudara-sadaranya sendiri untuk membahas berbagai jalan menuju perdamaian dan persatuan seluruh masyarakat Ermera. Dan menurutnya bagaimana pun juga Ermera adalah tanah tumpah darah semua orang Timor Leste. Perdamaian dan persatuan merupakan dambaan semua warga masyarakat Ermera, baik yang berada di Ermera maupun yang masih mengungsi di wilayah NTT. Semua orang Ermera mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk membangun tanah kelahirannya itu.

Dalam pertemuan persaudaraan itu warga pengungsi mengajukan beberapa usulan

1.  Kiranya semua warga masyarakat Ermera berani melupakan masa lalu;

2.  Diperlukan penegakkan supremasi hukum di seluruh wilayah Timor Leste;

3. Adanya jaminan keamanan real bagi pengungsi yang memilih kembali ke Timor Leste;

4. Penghormatan atas barang milik para pengungsi yang telah ditinggalkan pasca jajak pendapat September 1999;

5.  Semua tokoh masyarakat harus melakukan sumpah adat demi tegaknya perdamaian.

 Sedangkan peserta dari Distrik Ermera menyampaikan beberapa hal:

1. Mengharapkan agar masyarakat Ermera yang berada di tempat pengungsian untuk kembali ke kampung halaman dan membangun tanah kelahiran menuju hari esok yang lebih baik;

2.  Masyarakat Distrik Ermera sangat bergembira karena pada hari itu rakyat Ermera dapat bertemu dalam suasana damai dan sangat mengharukan. Bagi mereka sejak itu tidak ada lagi masyarakat pro-integrasi atau prokem tetapi yang ada hanyalah masyarakat Ermera yang baru;

3. Setiap pengungsi yang terbukti melanggar HAM harus dihadapkan ke pengadilan untuk mendapatkan hukum yang setimpal;

4. Setiap pengungsi yang kembali ke Ermera selain harus menerima hasil jajak pendapat rakyat Timtim 30 Agustus 1999 juga harus mengakui kemerdekaan Timor Leste.

13. Pertemuan Masyarakat Baucau Sub Distrik Kilikai, 1-2 November 2001 di Noelbaki Kupang

Pertemuan ini berlangsung dalam serangkain kegiatan kunjungan go and see visit warga Kilikai kepada saudara-saudaranya di pengungsian yang difasilitasi oleh UNHCR. Utusan dari Kilikai (Timor Leste) yang datang yakni :

1.       Leonel Guterres (Mantan Sekretaris CNRT Sub Distrik Kalikai);

2.       Jose Soares (Mantan Wakil Sekretaris CNRT Sub Distrik Kalikai);

3.       Alberto M Bello (mantan anggota Falintil);

4.       Sebantian do Santos (Tokoh Pemuda Kalikai);

5.       Jaime do Santos (Mantan Anggota TNI);

6.       Martino Belo (Mantan Anggota TNI).

Sedangkan dari Timor Barat yang berkenan terlibat dalam pertemuan yakni Egidio Sarmento (Wakil Komandan Saka), Calestino Moreira, Migel dos Reis, Alexander Zeronimo.

 Hasil Kesepakatan:

1.  Kedua belah pihak menyadari bahwa perang di Timtim sudah selesai dan semua rakyat Timor Leste harus bisa bersatu untuk membangun negara Timor Leste sebagai milik bersama orang Timtim. Mereka menyadari bahwa situasi mereka saat ini hanya merupakan korban perang antar elit sejak tahun 1974-1999;

2.   Menjamin keamanan bagi seluruh masyarakat Timtim yang ingin kembali ke Timor Leste.

14. Pertemuan Masyarakat Manatutu dan Aileu, 5 Nopember 2001 di Batugade

Pertemuan antar warga Manatutu dan Ailiu berlangsung dalam waktu yang sama pada satu kawasan tapi tenda berbeda. Pertemuan ini difasilitasi TRuK-F dan UNTAET yang dipimpin Mr. Parameswaran. Peserta pertemuan dari pengungsi Manatutu berjumlah 63 orang yang dipimpin oleh Vidal D.D. Sarmento (mantan Bupati Manatutu terakhir), Domingos Soares (mantan camat Laklubar), Juliana Soares (mantan anggota DPRD II) dan Salustiano Sousa (Ketua UNTAS Manatutu). Sedangkan pengungsi dari Ailiu berjumlah 135 orang yang dipimpin Thomas Mendonca, Horacio dan Belarmino F. Neves. Dari Timor Leste rombongan dua distrik dipimpin langsung oleh Xanana Gusmao yang didampingi David Dias Ximenes dan Ibu Maria Paisao (Bupati Ailiu). Pertemuan antar warga Ailiu diawali dengan penyerahan empat Patung Bunda Maria dari warga Aileu di pengungsian kepada warga Aileu di Timor Leste. Serah terima patung dimulai dengan doa yang dipimpin Romo Matheus, putera asli Aileu.

 Hasil Kesepakatan Masyarakat Manatuto :

1.  Kedua belah pihak menyadari bahwa situasi permusuhan dan pertentangan politik di antara kedua belah pihak harus segera diakhiri;

2.  Untuk pengungsi yang ingin kembali ke Timor Leste akan diterima dengan senang hati karena Timor Leste juga merupakan tempat kelahiran mereka;

3.  Disepakati untuk mengadakan temu rekonsilasi tahap kedua yang akan dilaksanakan pada tanggal 16 November 2001. Pertemuan tersebut akan dihadiri oleh masyarakat di tiga Subdistrik antara lain: Manatuto Kota, Laclo dan Lalea. Sedangkan tiga subdistrik lainnya, Soibada, Natarbora dan Lacluba, akan mengadakan pertemuan pada tanggal 24 November.

 Hasil kesepakatan Aileu :

1.  Masyarakat Aileu diperbolehkan mengadakan Go and See Visit ke Aileu;

2. Diharapkan agar setelah pertemuan tersebut masyarakat Aileu khususnya ibu-ibu dan anak-anak kembali ke kampung halamannya masing-masing.

15. Pertemuan Masyarakat Sub Distrik Manatuto, Laleia dan laclo, 16 November 2001 di Batugede

Kegiatan tersebut difasilitasi oleh RFK dan UNHCR bersama UNTAET. Pertemuan dimaksud merupakan tindak lanjut kesepakatan pertemuan terdahulu 5/11/2001 yakni supaya digelar pertemuan tingkat sub distrik. Dalam pertemuan ini peserta dari pengungsi  berjumlah 210 orang dan dipimpin oleh beberapa tokoh  Manatuto :

1.  Vidal Sarmento

2.  Juliana Soares

3.  Pedro Sousa

4.  Salustiano Sousa

Sedangkan peserta dari Timor Leste berjumlah 30 orang yang dipimpin Manuel Constantino C. de Piedade. Bupati Distrik Manatuto, Mateus Ximenes Belo, Candido de Carvalho Soares, dan Pastor Domingos. Hadir pula utusan Xanana yakni David Ximenes.Dalam pertemuan ini masing-masing pihak menyampaikan perasaan hatinya setelah sekian lama mereka berpisah. Pihak masyarakat Manatutu sangat mengharapkan kembalinya sama saudara mereka yang masih berada di barak-barak pengungsian. Sedangkan pihak pengungsi meminta jaminan keamanan bagi saudara-saudara mereka yang akan kembali ke Timor Leste. Selain itu para pengungsi meminta agar tanah dan hak milik warga pengungsi yang telah diambil harus dikembalikan. Sehingga masyarakat yang kembali dapat menikmati harta miliknya yang telah ditinggalkan ketika mengungsi ke Timor Barat.     

Beberapa reaksi berkaitan dengan pertemuan:

Pertama, Para pengungsi merasa kecewa atas perlakuan yang kurang bijak dari pasukan penjaga perbatasan yang membatasi peserta pertemuan sekaligus mewajibkan semua peserta dari Timor Leste harus mengikuti peraturan seperti para pelintas batas. Dengan aturan tersebut menyebabkan beberapa utusan yang telah diminta untuk menghadiri pertemuan terpaksa batal karena tidak lolos seleksi administrasi pelintas batas. Melihat kenyataan tersebut para pengungsi menganjurkan agar dalam pertemuan selanjutnya pihak penjaga perbatasan hanya bersifat mengawasi dan bukannya menghalangi.

Kedua, untuk pertemuan tanggal 24 November 2001 diharapkan agar masing-masing pihak harus sudah membuat beberapa kesepakatan tentatif untuk dibawakan dalam pertemuan tersebut. Dengan demikian pertemuan tanggal 24 November 2001 dapat menghasilkan satu kesepakatan bersama antara kedua belah pihak. Hasil kesepakatan tersebut nantinya akan disosialisasikan di wilayah masing-masing.

16.Pertemuan Koordinasi Utusan Xanana Gusmao dengan Utusan Pengungsi Lospalos, Viqueque dan Baucau, 19-20 November 2001 di Hotel Padma Denpasar Bali

Motivasi yang menggerakan pertemuan ini yakni ingin melibatkan pengungsi dari Baucau, Viqueque dan Lospalos-Lautem dalam proses rekonsiliasi. Tampaknya ketiga wilayah ini yang mengungsi di Kupang sama sekali belum  berniat melakukan dialog rekonsiliasi. Oleh karena itu diupayakan untuk melibatkan mereka dalam proses yang marak berlangsung seperti di wilayah Belu. Pertemuan ini terselenggara atas kerjasama Uppsala University dari Swedia (dihadiri pula Mikhael Eriksson dan Kjell-Ake Nordquist) dengan TRuK-F. Peserta pertemuan terdiri dari utusan Timor Barat dan Timor Leste dengan komposisi sebagai berikut:

1.  Timor Barat terdiri dari:  dua utusan Masyarakat Baucau yakni Joanico C. Belo dan Agusto da Costa. Tiga utusan dari Lospalos yakni Constantio Pareira (tokoh Tutuala, anggota Team Alfa), Frizal da Costa (anggota Team Alfa) dan Cornelio Ribeiro. Sedangkan dari Viqueque cuma satu orang yakni Emiliano. Emilio baru tiba di arena pertemuan tanggal 20 Nopember 2001 sesaat setelah pertemuan ditutup.

2.  Dari Timor Leste, peserta yang hadir yakni David Dias Ximenes, Paul Asis (Baucau), Fransisco Gutteres, Fransisco Berlicu, Ibu Guilhermina Saldanha, Octavio (Lospalos), Feliciano da Costa, dan Miguel Caldas Pinto (Viqueque)

 Kesepakatan akhir dari pertemuan sebagai berikut:

1.  Perlu dilakukan penanganan khusus terhadap pengungsi di Sulawesi Selatan. Koordinasi selanjutnya dengan Joanico Cesario Belo;

2.  Perlu berkoordinasi kembali dengan masyarakat Baucau di Timor Barat untuk bisa mengadakan suatu pertemuan di perbatasan;

3.  Bagi Masyarakat Lospalos perlu dilakukan pertemuan secepatnya di perbatasan bila perlu go and see visit karena menurut rencana masyarakat Lospalos akan segera pulang sebelum Natal 2001.

17. Pertemuan Rekonsiliasi antar warga Balibo di Batugade 12 Maret 2002

Pertemuan antar warga Balibo-Bobonaro difasilitasi oleh Satlak PB Kabupaten Belu, UNHCR dan JRS Atambua. Warga Balibo yang hadir sebanyak 280 orang dari Desa Carabau, Maliubu, Catabot dan Tebabui.

18. Pertemuan Rekonsiliasi Adat di Daerah Perbatasan Antara Napan dan TTU 31 Maret 2002 dan di Daerah Perbatasan TTU-Pasabe di Haumeni Ana 7 April 2002

Pada kedua pertemuan itu peserta yyang hadir adalah warga Oekusi dari TL dan warga Oekusi di pengungsian. Di Haumeniana peserta dari Oekusi mencapai 700 orang sedangkan dari kamp pengungsi TB mencapai 500 orang. Dalam pertemuan rekonsiliasi adat tersebut dilakukan pemotongan ayam oleh tokoh adat. Selanjutnya hati ayam diambil dan diteliti guna mendapatkan informasi tentang ketulusan kedua kelompok yang berdamai. Pertemuan adat di dua tempat di TTU itu diberi nama  Upacara adat Buka Pintu.

19. Pertemuan Team Rekonsiliasi Timor Leste dengan Warga Pengungsi dari Ambeno di Kefa 31 Mei 2002

Delegasi dari Timor Timur yang datang yakniPejabat Deplu, Caetano Guterres, Jaksa Agung Longguinhos Monteiro, Pejabat Urusan Kriminal Serius, Isabel Guteres. Delegasi Timor Leste didampingi Robert Ashe dan Afonso Munianeza dari UNHCR, Denis Mc Namara dan Natali David dari UNICEF, dan Anika dari IOM

20. Pertemuan Rekonsiliasi antara warga pengungsi Bobonaro dengan warga Bobonaro di Batugade 5 Juni 2002

Delegasi pengungsi dari Timor Barat dipimpin oleh Joao Tavares. Pertemuan tersebut difasilitasi oleh UNHCR.

21. Pertemuan Rekonsiliasi antara 16 tokoh RDTL dengan 14 tokoh pengungsi di Atambua 14 Juni 2002

Pertemuan berlangsung di Makodim 1605/Belu dipandu oleh Koordinator Satlak PB Belu, Letkol (Kav) Tjuk Agus Minahasa. Peserta dari RDTL antara lain :  Longuinhos Monteiro (Jaksa Agung), Antonio Cardoso dan Jacob Fernandes, keduanya dari Partai Fretelin, Pedro Gomes dari Partai ASDT, Marciano da Silva dari Partai Demokrat, Marciano da Silva (staf Deplu), Antonio Pires (Deputi Mentri Pendidikan RDTL), Julio da Costa Hornai (Deputi Komisaris Kepolisian RDTL), Amandio Benefides (staf Agung), Sergio de Jesus Hornay (Kantor Pengacara Negara RDTL), Aniceto Guteres dan Isabel Guteres dari Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi, Robert Ashe dan Manuel Carceres da Costa, keduanya dari UNHCR serta Team Hudne dari UNMSET. Sedangkan peserta dari Timor Barat dipimpin oleh Joao Tavares yang didampingi tokoh adat dan pengungsi dari Bobonaro, Dili, Ermera, Manatuto, Suai, Baucau dan Ailiu. Materi yang dibicarakan dalam pertemuan ialah keamanan, pajak, penempatan sementara warga pengungsi (kantongisasi) dan diskriminasi warga negara di RDTL. Di penghujung pertemuan masing-masing delegasi  menandatangani akta pertemuan rekonsiliasi.

22. Pertemuan Khusus untuk Distrik Baucau 3-5 Juli 2002 di Rumah Retret Nazaret Kuta Bali

Peserta pertemuan dari Timor Barat yakni Agustino Boavida (Sera Malik) yang turut didampingi oleh istrinya, Ijidio Sarmento dan Agusto da Costa. Sementara dari Timor Timur peserta yang hadir yakni David Ximenes, Paul Asis, Ibu Guilhermina Saldanha dan Feliciano. Pertemuan ini membahas penyelesaian masalah masyarakat Baucau yang masih di pengungsian. Fasilitasi pertemuan dimaksud ialah TRuF dan Uppsala University Swedia. Moderator pertemuan ialah Pastor Hubert Thomas Hassulie, SVD.

23. Pertemuan Rekonsiliasi antara pejabat RDTL dengan Tokoh pengungsi 6 Juli 2002 di Batugade

Pejabat RDTL diwakilkan oleh Jaksa Agung Longinhos Monteiro. Sedangkan dari pihak pengungsi tdiwakilkan oleh beberapa tokoh yang dipimpin oleh Joao Tavares dari Atambua. Pertemuan ini merupakan kelanjutan pertemuan terdahulu (14/6/02) tentang sejumlah tuntutan pihak pengungsi yang menginginkan kantongisasi ketika kembali ke Timtim. Pertemuan ini terlaksana di bawah koordinasi Ketua Satlak PB Kab. Belu, Letkol (Kav) Tjuk Agus Minahasa. Hasil pertemuan menegaskan adanya penolakn pihak Pemerintah RDTL terhadap permintaan Joao Tavares Cs.

24. Pertemuan Khusus antara utusan Khusus Presiden Xanana dengan Tokoh pengungsi 10-13 Agustus 2002 di Padma Hotel Bali

Peserta pertemuan yang hadir dari Timor Barat ialah Joao da Silva Tavares, Agustinho Boavida (Sera Malik) dan Fransisico Lopes de Carvalho. Dari Timor Timur masing-masing David Dias Ximenes, Paul Asis, Feliciano dan Ibu Guilhermina Saldanha. Pertemuan ini membahas kemungkinan menekan pihak Timor Leste untuk mengambil sikap lunak  terhadap permintaan  pihak Joao Tavares Cs. Fasilitator pertemuan ialah TRuF dan Uppsala University Swedia. Moderator pertemuan ialah Pastor Hubert Thomas Hassulie, SVD.


B. KEGIATAN GO AND SEE VISIT

Sejumlah kegiatan go and see visit yang menandai proses rekonsiliasi antara lain:

1.  Kunjungan UNTAS ke Dili pada tanggal 28-29 Maret 2001. Peserta kunjungan antara lain. Filomeno J. Hornay, Filomeno Lesbaldo, Clementino Castelo Branco, Joao Bosco dan Felix Berto;

2.  Kunjungan Fransisco Lopes de Carvalho ke Dili, Baucau dan Ainaro yang ditemani Mikhael Grant (TRuF) pada tanggal 21-27 Mei 2001. Melalui kunjungan itu warga Ainaro menyatkan sepakat untuk menerima pengugnsi yang pulang;

3.  Kunjungan sembilan anggota Polisi asal Timtim yang dipimpin Apolonaro da Silva. Kunjungan ini difasilitasi Polda NTT dan UNTAET/UNPKF;

4.  Kunjungan Aquino Caldas dan Agapitu Pires ke Manatutu pada tanggal 15-25 Agustus 2001 yang difasilitasi RFK dan UNTAET. Oleh kunjungan itu masyarkat Manatutu berniat bertemu dengan saudara-saudaranya di pengungsian;

5.  Kunjungan Helio Caitano Moniz bersama isteri ke Dili dan Suai tanggal 20-29 Agustus 2001. Kunjungan ini untuk mengeratkan hubungan dengan warga di Suai guna menerima kembali pengungsi yang pulang;

6.  Kunjungan Mantan Kepala Desa Cassa Hermenio Lopes de Carvalho ke Cassa-Ainaro tanggal 17-20 Oktober 2001.Tujuan kunjungan melihat kenyataan penerimaan warga Cassa bagi pengungsi yang kembali;

7. Kunjungan utusan masyarakat Kilikai Baucau yang difasilitasi UNHCR ke Kupang (Naibonat) tanggal 1-2 Nopember 2001;

8. Kunjungan Bupati Baucau Marito Reis ke Kupang (Naibonat) serta melangsungkan sejumlah pertemuan tanggal 2-4 Desember 2001. Kunjungan ini difasilitasi UNHCR;

9. Kunjungan 32 utusan Timor Leste ke Kupang yang difasilitasi UNHCR dan TNI 19-22 Desember 2001;

10. Kunjungan balasan dari pengungsi Manatutu ke Manatutu, tanggal 23-29 Desember 2001. Kunjungan ini difasilitasi TNI, UNHCR dan UNTAET;

11. Kunjungan wakil administrator Distrik Ermera Gabriel Ximenes bersama Fernando Jose Ximenes dan Armando de Jesus Salsinha ke Atambua tanggal 29 Desember 2001;

12. Kunjungan 13 utusan warga Baucau ke kamp pengungsi di Timor Barat tanggal 23-29 Januari 2002 yang dipimpin oleh Manuel da Costa Pinto. Kunjungan ini difasilitiasi UNHCR dan TNI;

13. Kunjungan utusan pengungsi Baucau ke Baucau yang dipimpin Agusto da Costa bulan Pebruari 2002. Kunjungan ini difasilitasi oleh TNI dan UNHCR;

14. Kunjungan 5 pejabat sub Distrik Ermera ke Belu menemui warga pengungsi asal Ermera tanggal 7-9 Pebruari 2002. Kelima pejabat itu yakni dari Sub Distrik Atsabe, Graciano Hornay, sub Distrik Latefoho, Joao Feixberto, sub Distrik Hatolia, Bonifacio dos Reis, sub Distrik Ermera, Simeao F.P Babo, sub Distrik Railako, Domingos da Costa;

15. Kunjungan 16 utusun sub Distrik Laklubar Manatutu ke Belu tanggal 8 –11 Pebruari 2002. Rombongan dipimpin oleh Asisten sub Distrik Laklubar, Ildefonso Pareira. Turut dalam rombongan yakni Kepala Desa Orlalan, Domingos da Silva, mantan Camat Fatukmakerek, Jose da Costa;

16. Kunjungan tokoh masyarakat Desa Cowa Balibo ke Belu tanggal 3-7 Maret 2002. Rombongan dipimpin oleh Joao Martins Ruas Hornai;

17. Kunjungan 51 anggota Mahidi asal Jumalai-Kovalima  dipimpi Domingus Alves ke Jumalai Timtim tanggal 18-20 Maret 2002. Kunjungan menjalin rekonsiliasi ini terselenggara berkat dukungan Pastor Paroki Jumalai Romo Agusto dan UNHCR Dili;

18. Kunjungan delegasi  asal Bougia Baucau ke Naibonat  dan  Kupang tanggal 8-10 April 2002;

19. Kunjungan utusan masyarakat Liquisa ke Belu tanggal  19-21 April 2002;

20. Kunjungan balasan 25 utusan pengungsi asal Liquica ke Liquica, tanggal 1-4 Mei 2002. Kunjungan tersebut difasilitasi oleh Satlak PB Kabupaten Belu bekerja sama dengan UNHCR Dili;

21. Kunjungan 18 utusan pengungsi Viqueque ke Uatolari, Osu, Viqueque Kota dan Lakluta tanggal 9-13 Mei 2002. Kegiatan ini difasilitasi khusus oleh TRuF, UNHCR dan Team Rekonsiliasi Xanana Gusmao;

22. Kunjungan 12 tokoh masyarakat dari Distrik Ailiu ke kamp pengungsi Sukabitetek dan Lebur tanggal 8-16 Mei 2002. Tokoh masyarakat Ailiu yang mengunjungi kamp pengungsi merupakan persatuan Daireitus Humanos dan Tlohine. Delegasi Ailiu ini dipimpin oleh Moses. Sejumlah tokoh yang datang yakni Jose Marshal, Filipe, Carlito, Carlos, Fransisco, serta beberapa anggot alainnya termasuk 2 perempuan. Di Sukabitetek dan Lebur delegasi Ailiu diterima dan difasilitasi oleh Horasio; mantan Komandan Pejuang Sipil Integrasi AHI Ailiu;

23. Kunjungan 14 tokoh masyarakat dari Vilage Holsa sub Distrik Maliana ke kamp pengungsian Haliwen, Fatubenao dan Haekesak – Belu tanggal 28-30 Mei 2002.Kunjungan tersebut difasilitasi oleh Satlak PB Kabupaten Belu bekerja sama dengan UNHCR Dili;

24. Kunjungan 18 tokoh masyarakat  dari Vilage Marobo sub Distrik Bobonaro ke kamp pengungsian Haekesak-Raihat Belu tanggal 31 Mei sampai 1 Juni 2002.Kunjungan tersebut difasilitasi oleh Satlak PB Kabupaten Belu bekerja sama dengan UNHCR Dili;

25. Kunjungan 6 tokoh masyarakat sub Distrik Likidoe Ailiu ke kamp pengungsian Sukabitetek dan Lebur-Belu tanggal 4-6 Juni 2002. Ketua rombongan dari Likidoe dipimpin oleh Kepala Sub Distrik yakni Luis. Kunjungan tersebut difasilitasi oleh Satlak PB Kabupaten Belu bekerja sama dengan UNHCR Dili;

26. Kunjungan 12 tokoh masyarakat Baucau yang dipimpin Bupati Baucau Marito Reis dan Pastor Mario Bello, Pr dan didampingi Paul Asis dan Feliciano da Costa ke kamp pengungsi Baucau di Naibonat pada tanggal 12 Juni 2002. Delegasi dari Baucau yang lain yakni L Foho Rai Bot (ex Komandan Falintil Sektor Timur), Padre Rui Gomes, Alin Laek (ex Komandan Distrik Falintil), Manuel Pinto, Fransisco Sarmento, Alfredo Belo, Elvino Gonzalves dan ibu Maria Fatima Coreia Belo. Kunjungan ini difasilitasi TRuF berkoordinasi dengan UNHCR dan Leader-leader pengungsi Baucau;

27. Kunjungan 24 utusan masyarakat Distrik Ainaro ke kamp pengungsian Belu Selatan pada tanggal 19-21 Juni 2002. Peserta go and see visit antara lain: Joao de Cortereal de Araujo (bupati), Antonio Magno (Camat Ainaro Kota), Pe. Dionisio Bere (Pastor Paroki Ainaro), Susana Baptista Barros, Jorge de Araujo, Clementino dos Reis, Romana Pareira, Sr. Elsa Fernandes, Lino Calisto da Silva, Narcisio Pacheco Magno (Kepala Desa Ainaro Kota), Balbino de Araujo (Kepala Desa Maulo), Alarico Fereira Verdial (Kepala Desa Surkraik), Jose Magno Pareira (Kepala Desa Cassa), Baltazar da Silva, Cancio da Costa (Camat Hato Udo), Joanico da Costa, Elias de Jesus, Daniel da Silva Ramalho, Pe. Fransisco S.F. Bareto, Jose Mendonca, Lorenco de Araujo (Camat Hatubuiliko), Domingos Mulo. Carlota Olinda Araujo Xavier, dan Mateus da Costa;

28. Kunjungan delegasi Same Manufahi yang dipimpin oleh Administrator Distrik Manufahi, Filomena Tilman ke Belu, Timor Tengah Utara dan Timor Tengah Selatan pada tanggal 3 –5 Juli 2002. Rombongan masuk Timor Barat melalui Metamauk-Belu Selatan.

 

Secara menyeluruh dampak dari Dialog Rekonsiliasi Warga Timor Leste antara lain:

1. Telah terjadi normalisasi hubungan antara kubu pro Indonesia dengan warga RDTL. Normalisasi ini ditandai dengan telah dimungkinkan kunjungan khusus Xanana Gusmao sebelum dan sesudah terpilih menjadi presiden RDTL. Secara istimewa kunjungan Xanana telah memungkinkan mencairnya kebekuan komunikasi di kalangan elite pro Indonesia dengan elite komunitas RDTL. Para elite pro Indonesia pada akhirnya menyatakan bahwa persaudaraan bagi orang Timor Leste tetap lestari meskipun berbeda paham politik (Pernyataan Armindo Mariano di Hotel Kristal tanggal 3 Nopember 2002 saat berlangsung malam pisah dengan Presiden Xanana Gusmao);

2.  Oleh adanya dialog rekonsiliasi (pertemuan perbatasan dan atau go and see visit) telah memungkinkan banyak warga kembali ke kampung halaman masing-masing dengan bebas. Sejak Januari 2001 boleh dibilang perjalanan repatriasi menjadi sangat mandek. Tetapi setelah adanya dialog rekonsiliasi yang gencar antar komunitas telah memungkinkan sejak September 2001 repatriasi warga kembali ramai. Repatriasi episode ini memiliki kekhasan karena warga yang kembali bersama dengan para pemimpin mereka seperti Liurai, tokoh adat dan tokoh Pasukan Sipil Integrasi (PSI);

3.  Interaksi warga Timor Leste di dua wilayah: Timor Leste dan Timor Barat menjadi sangat normal. Meskipun masih mau tinggal di wilayah TB tetapi sejumlah orang sudah bisa keluar masuk Timor Leste dengan berbagai urusan mereka. Para bapak atau ibu tidak merasa banyak persoalan untuk datang ke kampung halaman masing-masing atau mengunjungi keluarganya di TB. Interaksi serupa juga terwujud di bidang perekonomian perbatasan. Pemerintah RI c.q. Pemda NTT akhirnya menyetujui adanya pasar di perbatasan;

4.  Oleh adanya proses rekonsiliasi yang terus berjalan telah memungkinkan pula adanya pelaksanaan kerja Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) di Timor Barat Maret-Juni 2003. Kegiatan pencarian fakta sejarah adanya pelanggaran HAM di Timor Leste April 1974-Oktober 1999.

Kendati banyak dampak positip dari proses rekonsiliasi terhadap kehidupan warga di dua negara tetapi rekonsiliasi sebagai sebuah spirit yang harus dimiliki oleh semua orang yang terlibat dalam konflik belum memberikan hasil signikan. Di kalangan warga masih memiliki perspektif yang berbeda-beda tentang rekonsiliasi. Secara keseluruhan bagi warga yang menghuni kamp melihat rekonsiliasi selalu berujung pada repatriasi  untuk reintegrasi. Bertitik tolak dari kerangka berpikir demikian maka pandangan tentang rekonsiliasi di kalangan warga pun beragam sesuai latar belakang masing-masing individu. 

Bagi para pekerja: PNS, aparat TNI/ Polisi dan karyawan swasta memberikan pandangan tentang rekonsiliasi sebagai berikut:

“Kami tidak punya banyak persoalan. Timor Leste adalah negeri kami juga. Tapi jika kami kembali sekarang ini bagaimana dengan kesejahteraan hidup. Apakah setelah kami kembali kami mendapat pekerjaan? Apakah kami masih bisa menjadi tentara FDTL atau Polisi Timor Leste? Kami masih mau menikmati pekerjaan yang sedang kami jalankan di Indonesia. Sampai waktunya kami pensiun, kami akan kembali lagi ke Timor Leste. Apalagi saat ini anak-anak kami sedang sekolah. Kami belum yakin di Timor Leste anak-anak kami bisa sekolah dengan baik seperti di Indonesia. Bagi kami rekonsiliasi itu baik untuk mempersatukan kembali warga Timor Leste yang tercerai berai. Masa lalu harus berakhir dan semua orang harus meninggalakan masa lalu itu untuk masa depan generasi baru Timor Leste”. (Pandangan Sera Malik di Kesetnana Soe, Joao Martin Ximenes di Tanah Merah Amanuban Barat, Miguel Ximenes di Koramil 01 Soe, Klara da Silva di Kobelete Soe)

Bagi para pejuang integrasi mereka berpandangan antara lain:

1. Jika Timor Leste mau maju sebagai sebuah negara dan bangsa maka yang harus dilakukan terlebih dahulu ialah mempersatukan dulu warga yang tercerai berai karena perang atau konflik. Bila orang belum bersatu sendi-sendi negara akan rapuh. Satu pihak akan memandang pihak lain adalah musuh. Tentu saja hal itu membuat orang tetap mencurigai satu dengan yang lain (Gregori Coreira, Tanah Merah dan Amaro Dias, Nule Amnuban Barat-TTS);

2.  Untuk bersatu orang harus berani melupakan masa lalu. Janganlah menghukum orang-orang yang dipandang mempunyai kejahatan masa lalu. Kalau mau jujur sebenarnya orang-orang Timtim yang pegang senjata hanya merupakan alat dari penguasa dan juga para elite politik. Saat itu orang pegang senjata hanya karena terpaksa supaya bisa bertahan hidup. Jika tidak mati konyol. Jika kami yang pernah pegang senjata harus dihukum maka tidak cukup comarca (penjara) untuk menampung semua tahanan. Mungkin yang baik yakni semua orang Timor Leste dimana saja berada melihat masa lalu sebagai sejarah hitam bersama. Dan atas dasar itu sejarah harus berubah menuju masa depan yang baik dimana semua orang merasa memilikinya. (Horacio Rodrigues, Tanah Merah Soe-TTS);

3. Biarkan dulu orang-orang berdamai dan pulang ke kampung masing-masing. Nanti kemudian baru diusut mereka-mereka yang terlibat dalam kejahatan masa lalu seperti membunuh, memperkosa atau menculik orang. Saat mereka sudah tenang-tenang di kampung; sudah ada kebun dan rumah, nah baru kemudian mereka diusut. Paling penting yakni orang berdamai supaya situasi negara stabil sehingga pembangunan politik, ekonomi dan sosial budaya bisa berjalan. Kalau proses hukum lebih dulu orang tidak akan pulang dan antara satu dengan yang lain tetap mencurigai. Jika orang tidak pulang maka pemerintah Indonesia tetap dibebani oleh hadirnya orang-orang yang tidak jelas status kewarganegaraannya. Kalau Timor Leste mau aman sebaiknya beri amnesty bagi orang-orang yang secara hukum terbukti melakukan kejahatan. Semua orang diampuni sehingga orang bisa bersatu kembali dan merasa memiliki Timor Leste sebagai negeri dan tempat kelahirannya. (Cancio Lopes de Carvaho, Penfui Kupang).

Bagi rakyat kecil mereka berpandangan antara lain:

1.  Kami rakyat kecil itu tidak punya masalah yang banyak. Yang harus berdamai ialah para elite politik. Kalau mereka sudah berdamai kami yang kecil-kecil ini ikut mereka. Hari ini mereka bilang pulang, hari ini juga kami pulang. Tapi kalau mereka juga diam-diam saja, maka kami juga nasibnya seperti begini saja. Kami seperti bola dibuang, dilempar dan ditendang dan konyolnya kami pun ikut saja. (Domingos Soares, Settlement Fafioban Koa-TTS);

2. Saya kira yang harus berdamai itu pelaku dan korban bukan para elite. Mereka itu tidak punya persoalan. Hemat saya orang dari kampung atau desa yang datang bicara dan berdamai. Jangan rekonsiliasi dengan elite. Mereka itu hanya omong kosong saja. Mereka yang buat semua soal lalu kita ini yang jadi korban. Kalau Timor Leste mau maju biarkan orang-orang bersatu dan rakyat kecil yang terlibat dalam konflik yang harus berdamai. (Jose Tilman, Kobelete Soe-TTS)

 Elite politik (Konsep Drs. Fransisco Lope de Carvalho)

“Rekonsiliasi merupakan jalan terbaik untuk mewujudkan perdamaian yang abadi. Rekonsiliasi harus diupayakan melalui pendekatan dialogis yang bersifat vertical dan horizontal.

1.  Vertikal mengacu pada dialog antara pemimpin dengan pengikutnya, komandan dengan anak buah. Lalu dialog pemimpin Timor Leste dengan rakyat pro integrasi; pemimpin otonomi dengan rakyat Timor Leste.

2. Horisontal yakni dialog pemimpin dengan pemimpin dan antara rakyat dengan rakyat dalam kelompok masing-masing guna menyamakan visi, persepsi, bahasa dan tindakan tentang rekonsiliasi. Juga dialog antara pemimpin dengan pemimpin dan antara rakyat dengan rakyat dari kedua belah pihak.

Guna mewujudkan rekonsiliasi yang luhur harus disertai dengan sikap antara kedua pihak yakni:

Dari Pro Integrasi:

1.  Mengakui kesalahan dalam membumihanguskan Timor Timur pasca Jajak Pendapat serta meminta maaf kepada masyarakat Timor Timur yang telah menjadi korban serta berjanji untuk tidak mengulangi lagi di masa depan;

2. Mengakui jajak pendapat sekaligus meninggalkan petualangan pemikiran memerahputihkan kembali Timor Leste;

3.  Berniat untuk menjadi warga negara Timor Leste yang baik dan bertanggung jawab.

 Dari Timor Leste:

1.  Menanggalkan kesan dan gengsi sebagai pemenang mutlak. Semua warga Timor Leste sekalipun berbeda paham politik tapi telah memberi kontribusi bagi kemerdekaan Timor Leste;

2.  Memberikan amnesty umum kepada semua orang Timor Timur yang telah terbukti turut melakukan tindakan pembumihangusan Timor Timur pasca jajak pendapat.

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar